PLATO TIDAK BOHONG ATLANTIS ADA DI ZAMAN PRA-SEJARAH INDONESIA


PLATO TIDAK BOHONG ATLANTIS ADA DI ZAMAN PRA-SEJARAH INDONESIA (Analisis Dr. Danny Hilman dan Tim Katastrofi Purba 1)

Membedah Timiaeus – Critias dan Buku Santos “Atlantis: The Lost Continent Finally found” OLEH: DR. Danny Hilman Natawidjaja  dan Tim Katastrofi Purba


Plato adalah filosof dan ilmuwan besar yang hidup pada masa  masa 424 s/d 347 Sebelum Masehi.   Dia adalah murid Socrates yang tidak kalah hebatnya.   Dua konsep Plato yang sampai sekarang menjadi acuan dunia adalah konsep negara replubik (dari bukunya yang berjudul “Republic”) dan konsep tentang empat unsur utama pembentuk alam, yaitu: Api, Air, Tanah, dan Udara.  Peninggalan Plato lain yang tidak kalah terkenalnya tapi sangat kontroversial adalah tentang kisah Kerajaan Atlantis yang dituangkan dalam Dialog Timaeus dan Critias.  Untuk memahami Atlantis harus mempelajari sumber aslinya langsung tidak hanya membaca pembahasan Atlantis di berbagai buku, termasuk Karya Santos.  Anda akan terkejut bahwa  hampir semua kontroversi itu jawabannya ada dalam dua Dialog Plato tersebut.

Dalam Dialog Plato dikatakan bahwa Kisah Atlantis berdasarkan fakta bukan fiktif, dan sudah diakui kebenarannya oleh Solon, seorang legislator Yunani yang sangat dihormati dan paling bijak yang hidup 150 tahun lalu sebelum zaman Plato (A-1).    Solon mendapatkan naskah ini ketika berkunjung ke Kota Sais di Mesir dari para pendeta tinggi di sana.  Sumber asli-nya adalah prasasti dalam huruf sangat kuno (“hierroglyphs”?) yang  diterjemahkan ke dalam bahasa Mesir waktu itu oleh para pendeta tersebut (A-2).   Kemudian oleh Solon Naskah itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Yunani dan kemudian diberikan kepada sahabatnya Dropides, kakek buyut Plato (A-2).  Selanjutnya naskah asli terjemahan Solon itu  jatuh ke tangan Critias, kakek Plato, dan kemudian diserahkan ke Plato dan dipelajarinya sejak kecil (A-2,3).

Ada sebagian orang yang menyangka bahwa Atlantis hanya ada dalam imajinasi Plato belaka sebagai negeri ideal yang diuraikan dalam buku Republiknya.  Ini sangat gegabah dan tidak berdasar.  Sama saja mengatakan bahwa Plato bohong.  Bagaimana mungkin seorang  Plato bisa berbohong tanpa alasan yang kuat ?  Ini tidak masuk akal.   Negeri Atlantis yang sangat dikagumi Plato dalam Timaeus dan Critias tidak mirip dengan negeri ‘Republik’nya Plato, bahkan merupakan anti-thesisnya.  Negeri Republik-idealnya Plato mungkin lebih mengacu ke ‘Athena purba’ yang dalam Dialog Timaeus dikatakan mempunyai sistem konstitusi yang luarbiasa (A-9). Sebaliknya  Atlantis adalah negeri dengan sistem kerajaan yang diperintah oleh kekuasaan absolut dari para rajanya (A-37).

Timaeus dan Critias tidak semata-mata berkisah tentang Atlantis, tapi mungkin pada awalnya malah ditujukan untuk menceritakan kepahlawanan  pasukan Athena kuno yang menang perang melawan pasukan Atlantis di wilayah Mediteranian (A4,10,12).   Raja Atlantis dan pasukan tempur maritimnya datang menyebrangi Samudra ‘Atlantic’ untuk menaklukan seluruh wilayah Eropa dan Afrika (A10).  Banyak wilayah Eropa dan Afrika yang sudah ditaklukan tapi pasukan gabungan negara-negara Yunani yang dipimpin Athena tetap berperang dengan gigih melawan pasukan Atlantis (Timaeus).  Pada akhirnya pasukan Athena menang (A.10), sehingga wilayah yang tadinya sudah takluk terhadap Atlantis bebas, khususnya Mesir (Timaeus). 

Para pendeta tertinggi Mesir memberikan naskah kuno tersebut kepada Solon sebagai penghargaan terhadap jasa para pahlawan Athena yang dulu pernah membebaskan Mesir dari kekuasaan Atlantis (A1).   Jadi Dialog Plato tidak melulu bercerita tentang Atlantis tapi juga tentang kebesaran Athena purba (A.9).  Perlu digaris-bawahi bahwa yang dimaksud dengan Athena (oleh Plato) bukan Athena yang dikenal masyarakat pada waktu itu tapi peradaban kuno yang menjadi leluhur bangsa Athena dan juga Mesir, yang juga sudah tidak dikenal lagi (A9).

Lebih jauh, Plato menguraikan suatu kearifan yang luarbiasa bahwa sesungguhnya peradaban manusia dulu sudah banyak yang lebih maju tapi selalu dimusnahkan oleh bencana katastrofi yang terjadi berulang-ulang dalam perioda yang sangat panjang  sehingga hilang tidak berbekas (A5,6,7,8).  Misalnya dikatakan Plato bahwa dulu (pada Zaman Atlantis/Athena Purba) orang bisa melintasi Samudra Atlantic, tapi pada zamannya sudah tidak mampu lagi (A-10).  

Alasannya karena para ilmuwan dan teknokrat masa purba yang tinggal diperkotaan mati oleh bencana, yang tersisa biasanya adalah golongan yang berpendidikan rendah, seperti para petani dan peternak yang hidup di desa-desa (A6,7).  Selain itu, tidak banyak catatan tertulis tentang tradisi dan IPTEK yang sudah dicapai pada masa purba sehingga  generasi selanjutnya harus kembali belajar dari nol, tidak pernah tahu apa yang pernah terjadi di masa dahulu kala (A5,7,8).  Itu pula sebabnya kenapa orang tidak tahu tentang kisah Atlantis dan Athena purba. Plato kemudian mengatakan bahwa generasi dia atau yang akan datangpun bisa mengalami nasib yang sama.

Di mana lokasi Negeri Atlantis?  Yang pasti bukan di sekitar wilayah Laut Tengah (Mediteranian), yaitu: Eropa , Asia (Turki) dan Mesir (Afrika Utara).  Semua kandidat Atlantis yang diajukan dari wilayah Mediteranian ini, termasuk Crete – Minoan, Cyprus, dll tidak ada yang cocok dengan deskripsi dalam Dialog Plato, kecuali sebagian saja.  Selain itu jelas dikatakan bahwa Raja Atlantis dan pasukan tempur-maritimnya datang dari Samudra Atlantic untuk menyerang Eropa dan Asia, bukan berasal dari wilayah ini (A.10).  Jadi, pasukan Maritim Atlantis kemungkinan besar masuk via Selat Gibraltar terus ke Laut tengah (Mediteranian).

Pada Zaman Plato orang Eropa tidak ada yang bisa berlayar menyebrangi Samudra Atlantic  sehingga tidak ada orang yang tahu sampai mana batas Samudra Atlantic dan ada apa di seberang sana.   Apakah mungkin Daratan Atlantis itu berada di Samudra Atlantic menurut pengertian kini?  Ini juga tafsiran yang salah kaprah.  Istilah/nama pada zaman dahulu belum tentu sama dengan arti pada zaman sekarang.   Santos menghabiskan satu bab dalam bukunya untuk menguraikan bahwa yang disebut Samudra Atlantic oleh orang-orang Eropa pada  zaman Plato adalah samudra yang mengelilingi seluruh dunia. 

Selanjutnya Santos menguraikan berbagai peta dan naskah kuno yang memperlihatkan tidak ada pembagian Samudra seperti sekarang (Atlantic, Pasific, Hindia).  Satu kasus menarik dalam sejarah adalah tentang  Christoper Colombus yang mengarungi Samudra Atlantic (dari Eropa/Mediteranian) untuk mencari ‘The East Indies’ (konon “hidden agenda” Colombus adalah mendapat mandat dari Kerajaan Inggris untuk mencari Tanah Surga Atlantis –WallahuAlam).  Namun Colombus terdampar di Benua Amerika.  Ini berarti sampai masa Colombus orang Eropa tidak mengetahui keberadaan Benua Amerika, disangkanya  dengan menyebrang Samudra Atlantic akan sampai ke East Indie tersebut.   

Itu sebabnya kenapa penduduk asli Amerika disebut sebagai ‘Indian’ oleh Colombus karena ketidaktahuannya.   Jadi mencari Atlantis hanya di Samudra Atlantic sekarang adalah kesalahan besar, apalagi sampai ngotot membuat hipotesa konyol tentang benua hilang di tengah-tengah Samudra Atlantik yang dari sudut pandang ilmu geologi adalah hal mustahil.
Untuk memahami dan mencari lokasi Atlantis yang sebenarnya kita harus mencermati ciri-ciri kondisi alam nya yang diuraikan dengan cukup rinci dalam Dialog Timaeus dan Critias.  Saya membantu merangkumnya, sebagai berikut:
  1. Negeri Atlantis berada di sebuah pulau/daratan di seberang Samudra Atlantic dari Eropa Barat.  Pulau tersebut terletak di muka selat-selat yang disebut sebagai “Pillar Heracles” (A.10).  Luas pulau ini lebih besar dari Libya dan Asia pada waktu itu.  Wilayah di dalam atau diantara selat-selat Heracles itu hanya ada laut dangkal dan pelabuhan dengan akses kanal yang sempit, tapi yang diluar selat adalah benar-benar lautan luas yang diujungnya dibatasi oleh benua tak bertepi.
  2. Bahwa pulau/daratan  yang dimaksud di-poin 1 sebenarnya merupakan semenanjung besar/panjang  yang menjorok  ke arah lautan dari bagian pinggiran sebuah benua.  Semenanjung besar ini dikelilingi oleh lautan dalam (A14).
  3. Di tengah-tengah Pulau Atlantis ada wilayah dataran luas yang terindah di dunia dan tidak ada yang mengalahkan kesuburannya (A16).  Morfologi dataran itu sangat rata, berbentuk persegi panjang dengan ukuran: panjang 555 km dan lebar 370 km (A30).  Tanah datar ini dikelilingi oleh wilayah pegunungan dengan gunung-gunung/bukit-bukit  yang yang berbagai ukuran dan terkenal sangat indah(A31).  Dari wilayah pegunungan ini mengalir banyak sungai-sungai ke arah dataran, kemudian sungai tersebut mengalir meliuk-liuk di wilayah dataran (aluvial).  Semua aliran sungai ini bersatu dan masuk ke wilayah kota metropolis Atlantis yang dibangun di atas wilayah dataran ini, dan kemudian induk sungai itu mengalir ke laut (A33).
  4. Tanah Negeri Atlantis sangat subur, terbaik di dunia,  yang menghasilkan buah-buahan sangat berlimpah dan banyak sekali macamnya (A13);  termasuk jenis buah yang kulit luarnya keras yang bisa diminum airnya, dimakan dagingnya, dan juga dimanfaatkan minyaknya, alias KELAPA  (A20).  Tanah pertaniannya selalu mendapat kecukupan air dengan memanfaatkan air hujan ketika musim hujan dan kanal-kanal irigasi air dari banyak aliran sungai ketika musim kemarau.  Hasilnya dipanen dua kali dalam setahun (A35).
  5. Selain pertanian banyak tumbuh  pohon-pohon besar-tinggi yang menambah keindahan alam (A28), disamping juga menghasilkan berbagai macam kayu untuk bahan mebel dan bangunan (A18).
  6. Tanah Atlantis adalah sumber dari segala wewangian yang berasal dari akar-akaran, tanaman herbal dan berbagai macam kayu, atau konsentrat  minyak wangi yang didestilasi dari buah-buahan dan bunga-bungaan (A20).
  7. Fauna di Negeri Atlantis luar biasa banyak populasi dan ragamnya. Terdapat populasi gajah yang sangat banyak, dan berbagai jenis binatang yang menghuni wilayah danau-danau, rawa-rawa, sungai-sungai, dan juga yang hidup di wilayah pegunungan dan dataran (A19), baik yang liar ataupun yang dipelihara (A18).    Diantara binatang buas ada yang terkenal paling besar dan terganas  sedunia(A19).  Di perairannya terdapat banyak ikan lumba-lumba yang diilustrasikan sangat akrab dengan penduduk Atlantis. Kuda-kuda pun sangat  banyak.  Di wilayah dataran dibangun arena pacuan kuda yang sangat besar, di sepanjang Pulau (ratusan kilometer) dengan lebar arena pacu  ~200 meter (A28).
  8. Tanah Atlantis juga sangat kaya dengan sumber daya mineral dan logam.  Ada banyak macam batu-batuan beraneka warna yang dipakai untuk membangun berbagai bangunan, istana-istana, dan kuil-kuil (candi-candi)  (A24).  Tanah Atlantis juga penghasil banyak sekali emas, perak, tembaga, dan “orichalcum” (logam mulia sejenis campuran emas-tembaga yang bercahaya merah).  Semua bahan logam ini sudah ditambang dan digunakan untuk berbagai keperluan termasuk untuk membuat hiasan dan patung-patung, juga untuk melapisi dinding dan lantai bangunan (A24,26).
  9. Selain itu di Negeri Atlantis banyak terdapat sumber-sumber mata air panas dan dingin yang dibuat menjadi pancuran di dalam gedung-gedung untuk tempat bersantai dan mandi-mandi yang dilengkapi dengan berbagai tanaman disekitarnya (A27).
Peradaban Atlantis diilustrasikan sangat maju.  Dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah, Atlantis mampu membangun banyak kuil/candi tempat beribadah, istana-istana, dan pelabuhan-pelabuhan (A21).  Keahlian yang sangat menonjol terutama dalam membuat kanal-kanal besar di seluruh wilayah negerinya.   Di sekeliling dataran Atlantis dibangun kanal besar dengan lebar 1 stadia (185m) dan dalamnya 100ft (~35m) membentuk lingkaran konsentris sepanjang  1000 stadia (1850 km).  

Kemudian dibangun juga jaringan kanal-kanal selebar 100 ft dari wilayah hulu sungai (di pegunungan) sampai ke dataran, terus sampai ke kota untuk membawa berbagai hasil hutan/pertanian (kayu dan buah-buahan).  Jarak antara jaringan kanal-kanal adalah 100 stadia (~18.5km)  yang terhubung satu sama lain (A34).  Wilayah hulu-hulu sungai (pegunungan) dihuni oleh para pemilik dan pengolah tanah pertanian dan peternakan yang kaya raya.  Mereka mensuplai berbagai kebutuhan pangan untuk penduduk negeri. (A31)

 Di wilayah dataran ini terdapat Ibu Kota Metropolis Atlantis yang besar, canggih, dan sangat elok (A22-29.   Arsitekturnya kota juga didominasi oleh teknologi kanal dan jembatan.  Di tengah kota terdapat pulau utama yang berdiameter 5 stadia (~1km).  Di tengah pulau tersebut terdapat Istana Poseidon yang sangat megah.  

Pulau utama tersebut dikelilingi oleh selang-seling zona tanah dan air yang konsentris membentuk lingkaran sebanyak 10 lapis.  Zona paling luar selebar 50 stadia (~9.2km) adalah tempat pusat kota Atlantis yang dipinggirannya dibangun  benteng tersusun dari batu yang membatasinya dengan wilayah sekitar.    Di satu sisi benteng yang menuju lautan lepas dibangun kanal utama yang memotong zona paling luar tersebut menuju pelabuhan utama Atlantis.  

Lebar kanal adalah 300 ft (100m) dengan kedalaman sekitar 100ft (35m) sepanjang 9.2km.  Dua zona tanah dan air di sebelah dalam dari pelabuhan selebar 3 stadia (555m).   Empat zona tanah dan air berikutnya mempunyai lebar 2 stadia   (370m). Kemudian dua zona tanah dan air yang langsung mengitari pulau utama mempunyai lebar masing-masing 1 stadia (185m). 

Semua zona yang melingkar konsentris tersebut dihubungkan dengan jembatan dan kanal.
Ringkasnya, uraian di atas di atas jelas ciri-ciri alam daratan Atlantis menunjukkan ciri-ciri alam tropis yang sangat subur dan mempunyai kekayaan sumber daya alam luarbiasa, termasuk keragaman flora-fauna, pertanian, hasil hutan, dan pertambangan logam.   Daratan tersebut bukan pulau terpisah tapi anjungan besar dari sebuah benua, dimana di tengahnya terdapat dataran rendah yang luas dan landai dikelilingi oleh jalur pegunungan dengan gunung-gunung api aktif.  

Kemudian geografisnya juga  dicirikan oleh dataran besar aluvial landai yang berdimensi 555 x 370 km berada di tengah daratan dan dialiri sungai (sangat besar) yang hulu-hulunya berasal dari pegunungan yang  mengelilinginya.  Sumber daya alam yang luarbiasa tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk membangun sebuah negeri maritim yang besar dan elok dan sangat tinggi peradabannya.  Kekuasaan Atlantis meliputi pulau besar yang diuraikan di atas ditambah pulau-pulau lainnya dan juga sebagian wilayah benua (A10).   

Jadi bukan hal aneh apabila sisa-sisa peradaban Atlantis ini ditemukan hampir diseluruh dunia, termasuk wilayah di benua Amerika, Asia, dan Afrika.  Pada zaman Atlantis, sebelum 11.600 tahun lalu, ketika  dunia masih berada dalam zaman es, dikatakan bahwa negeri di wilayah tropis ini jauh lebih subur dan nyaman dibanding sekarang (Zaman Solon-Plato) karena iklimnya berbeda, temperaturnya beberapa derajat lebih dingin.  Pada zaman es wilayah ini merupakan yang terkaya, terindah dan ternyaman di muka bumi, seperti yang diilustrasikan oleh Dialog Plato, namun sudah mengalami  degradasi akibat erosi, sedimentasi dsb. (A-15).

Kemudian diceritakan bahwa pada masa kejayaan,  penduduk negeri Atlantis sangat patuh pada aturan, taat beribadat, sangat menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur, dan tidak kemaruk oleh keduniawian walaupun berlimpah harta dan emas-permata.  Namun akhirnya mereka lupa diri, kemudian berambisi ingin menaklukan siapa saja di seluruh dunia.  

Sampai akhirnya tidak lama setelah kalah perang melawan Athena Purba, sekitar 11.600 tahun lalu (BP),  Negeri Atlantis musnah oleh bencana katastrofi.  Peristiwa ini dimulai dengan  hujan yang sangat lebat mengguyur Negeri Atlantis selama satu malam. Setelah itu datanglah bencana gempabumi yang sangat dahsyat yang diikuti oleh banjir besar (=tsunami)  yang hempasan gelombangnya menginundasi daratan sampai jauh ke dalam (A-11,37) memusnahkan Negeri Atlantis hanya dalam sehari-semalam.  Dikatakan bahwa Negeri Atlantis (seperti) hilang tenggelam di bawah laut, dan setelah itu laut di sekitar Pulau Atlantis yang ‘tenggelam’ jadi sukar untuk dilayari karena banyak  tumpukan lumpur (A-37).

Perlu dikaji bahwa ekspresi ‘Pulau Atlantis tenggelam dalam sehari-semalam’ tidak harus diinterpretasikan secara literal.  Ingat bahwa setelah bencana tsunami di Aceh tahun 2004.  Orang sering mengekspresikan bahwa ‘Kota Banda Aceh tenggelam’ oleh tsunami.  Memang benar Banda Aceh tenggelam seketika di-inundasi gelombang tsunami, tapi air laut surut lagi.  Namun, tanah Banda Aceh  turun sampai setengah meter akibat tektonik (“tectonic subsidence”) sehingga bagian pantainya tetap di bawah air.  Banda Aceh juga dipenuhi oleh lumpur beserta berbagai sampah yang dibawa oleh air.  Jadi deskripsi kondisi Banda Aceh setelah tsunami ada kemiripan dengan  deskripsi kondisi Atlantis setelah ‘gempa dan banjir’ tersebut, yaitu dikatakan tenggelam dan penuh lumpur, yang dalam hal ini yang dimaksud adalah bagian dataran rendahnya saja di mana Kota Metropolis Atlantis berada.

Pada masa Solon (600 M) Pulau Atlantis memang sudah benar-benar tenggelam di bawah laut, tapi tenggelamnya daratan Atlantis di bawah laut tidak terjadi dalam sehari-semalam karena bencana banjir besar yang terjadi pada 11.600 tahun lalu tersebut,  melainkan melalui proses alam yang perlahan dan sangat lama.  Hal ini diilustrasikan dalam Dialog Plato dengan mengilustrasikan terjadinya proses erosi dan  sedimentasi secara perlahan-lahan selama ribuan tahun sehingga terjadi akumulasi tebal (yang menutupi apapun yang di bawahnya) dan berbarengan dengan itu air laut terus naik (atau bisa juga diekspresikan dengan ‘tanahnya yang terus turun’), sehingga akhirnya pulau besar Atlantis seperti  hilang dari pandangan, tapi masih menyisakan tulang-tulang daratan (wilayah pegunungan) yang masih terlihat di atas muka laut berupa pulau-pulau yang lebih kecil (A-15).  Nah, dengan pengetahuan ini pencarian daratan Atlantis menjadi lebih mudah lagi, bukan?

Jadi, “to the point” saja, di mana Atlantis? Ah, tidak perlu jenius untuk menjawab hal ini.  Silahkan membuka peta dunia dan mencari sendiri wilayah mana yang memenuhi kriteria Tanah Atlantis di wilayah Tropis, tidak banyak pilihannya.  Ya, benar,  tidak ada pilihan lain kecuali “Sundaland”,  daratan yang dulu lebih luas dari ‘Lybia’ (Afrika Utara)+ ‘Asia’(=Turki)  tapi sudah tenggelam sehingga hanya kelihatan ‘tulangnya’ saja, yaitu Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.   Daratan besar lain yang berada di zona Tropis adalah di bagian tengah dari Benua Afrika (Kongo, Tanzania, Kenya, Uganda, dll) dan Bagian Selatan Benua Amerika (Brasil, Peru, Equador, Kolombia, Venezuella). 

Tapi dua lokasi daratan ini tidak tenggelam dan tidak pernah tenggelam sejak 20.000 tahun lalu, juga ciri-ciri geografisnya tidak memenuhi deskripsi Plato.  Sundaland 100% cocok dengan semua deskripsi tentang Pulau/Daratan Atlantis yang diuraikan dalam Timaeus dan Critias.  Sundaland pada masa 11.600 tahun lalu adalah daratan yang notabene merupakan semenanjung besar yang menjorok dari Benua Asia.  Semua ciri-ciri alam, termasuk jenis flora-faunanya dan sumber daya mineral-logam (emas, perak, tembaga) yang disebutkan dalam Critias dipunyai oleh Sundaland.   

Ditambah lagi uraian tentang adanya dataran aluvial besar di tengah-tengah tanah Atlantis yang hulu-hulu sungainya dari pegunungan di sekitarnya sangat pas dengan keberadaan Sungai Sunda purba di perairan Laut Jawa dan Selat Malaka yang anak-anak sungainya bermuara di punggungan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan yang mengelilinginya.   Jadi kalau dikatakan sungai purba di Sundaland bukan bukti adanya peradaban Atlantis memang bukan bukti langsung atau yang berdiri sendiri melainkan salah satu faktor utama untuk memenuhi kriteria Atlantisnya Plato.  Lebih lanjut lagi, dimensi tanah landai dimana terdapat Kota Metropolis Atlantis, yaitu 555 x 370 km, pas juga dengan dimensi Laut Jawa, bekas dataran aluvial landai yang sudah tenggelam; silahkan diukur sendiri supaya yakin.

Atlantis = Sundaland, itu juga yang diteriakkan oleh Santos dalam bukunya : “ATLANTIS  the Lost Continent Finaly found”.  Uraiannya cukup ruwet dan berliku-liku dan terkadang seperti tidak masuk akal, tapi ide utama yang dikemukakan sebetulnya simpel dan brilian.  Sebelumnya sudah banyak berbagai kandidat Atlantis yang diajukan tapi tidak ada yang benar-benar memenuhi syarat dan anehnya tidak ada satupun yang melirik Sundaland.  Apakah memang tidak ada orang yang serius membaca Timaeus dan Critias, atau barangkali disengaja untuk mengecoh orang  dengan membuat banyak “decoy-decoy” yang tidak masuk akal apapun tujuannya, Wallahualam.  Santos punya kesalahan cukup fatal  karena menafsirkan Pulau Atlantis benar-benar tenggelam dalam sehari-semalam, seperti banyak ditafsirkan oleh banyak orang.  

Oleh karena itu dia mengajukan hipotesa yang seolah-olah sudah benar-benar dia yakini bahwa yang menghancurkan dan menenggelamkan Pulau Atlantis adalah letusan gunung api Krakatau Purba yang kemudian memicu massa es di bumi mencair seketika sehingga menaikkan air laut sampai puluhan meter hanya dalam sehari-semalam.  Alasan ini  tentu tidak bisa diterima oleh ilmu geologi  karena letusan katastrofi tidak membuat es mencair, tapi sebaliknya malah menurunkan temperatur  bumi  seperti halnya letusan Toba yang menurunkan temperatur bumi beberapa derajat selama 6 tahun.  Disamping itu dalam Timaeus-Critias tidak menyinggung fenomena bencana letusan gunung api. 

Walau bagaimanapun, karya Santos sangat berjasa dalam membukakan ide tentang lokasi Atlantis yang lebih masuk akal ini.  Selain itu dia terutama sudah bekerja keras mengumpulkan banyak mitos, tradisi, peta dan catatan kuno, serta berbagai literatur untuk memperkuat bukti bahwa bukan hanya Plato yang mengatakan tentang adanya  ‘Tanah Surga Purba – Pusat Peradaban Dunia’ tapi juga diceritakan oleh banyak sumber yang meskipun nama sebutannya  berbeda-beda tapi deskripsinya banyak kemiripan dengan deskripsi Atlantis-nya Pluto.  Misalnya adalah cerita dari ahli sejarah Yunani terkenal yang hidup pada Abad satu sebelum Masehi, yaitu Diodorus Sicculus, tentang “Islands of Heliads” atau Negeri Matahari jauh di selatan di wilayah lautan di Selatan India; atau tentang Negeri “PUNT”orang Mesir yang dikatakan sebagai negeri pertama para leluhurnya yang terletak jauh di timur.

Nama pusat peradaban kuno yang cukup terkenal selain Atlantis adalah LEMURIA atau Tanah Mu (“The Land of Mu”).  Kisah Mu pertamakali dikemukakan oleh Le Ploengon (1825-1907) setelah dia kembali dari perjalanannya melihat sisa-sisa reruntuhan peradaban Maya di Yucatan, Mexico.  Dari berbagai relief bangunan,artefak,  simbol-simbol, dan tulisan hieroglpyhs yang ditemukan di sana Le Ploengon berkesimpulan bahwa peradaban (leluhur) bangsa Maya lebih tua dari peradaban Mesir dan Yunani, bahkan lebih jauh lagi menginduk ke peradaban sangat kuno dari satu daratan yang dulu tenggelam karena bencana.  Salah satu leluhur dari daratan tenggelam itu adalah ‘Ratu Moo’ yang membangun peradaban di Mesir dan Yunani. 

Le Ploengon kemudian menginterpretasikan bahwa daratan yang dimaksud bangsa Maya adalah sama dengan tanah Atlantis di dalam Timaeus dan Critias yang menurut keyakinannya ada di tengah Samudra Atlantic .  Le Ploengon adalah juga seorang pioneer dalam penggunaan kamera foto (termasuk teknik foto 3-D) untuk mendokumentasikan reruntuhan Maya tersebut.   Dokumen foto-foto nya menjadi data yang sangat berharga karena sekarang banyak sisa-sisa reruntuhan Maya yang sudah rusak atau dimusnahkan (oleh Spanyol).  Koleksi Foto-foto, catatan harian dan berbagai catatan-analisa Le Ploengon yang asli sekarang tersimpan di Museum Getty, Los Angeles.

Kemudian, James Churchward (1851–1936) lebih mempopulerkan lagi ide-nya Le Ploengon tersebut dalam satu seri buku-nya yaitu: Lost Continent of Mu, the Motherland of Man (1926), kemudian di-edit lagi menjadi The Lost Continent Mu (1931), dan seterusnya ditulis dalam buku populer berjudul  The Children of Mu (1931) dan The Sacred Symbols of Mu (1933).  Churhward meng-klaim bahwa urain didalam buku-bukunya tersebut adalah dari transkrip huruf kuno pada dua buah tablet tanah yang diperlihatkan oleh pendeta tinggi di India (ketika dia sedang berdinas sebagai militer di sana) dan juga dari 2500 tablet batu bertulis dari reruntuhan Maya di Meksiko yang dikumpulkan oleh William Niven. 

Tapi, konon, 2500 tablet batu itu sayangnya raib ketika sedang dikirim dari Meksiko ke USA.  Singkatnya Churchward menguraikan bahwa di Tanah Mu atau Le-MU-ria  ada peradaban tinggi bangsa “Naacal” yang berkembang sejak 50.000 tahun lalu sampai 12.000 tahun lalu, yaitu saat musnah karena bencana alam.  Ketika terjadi benjana besar tersebut populasi bangsa  Mu sudah mencapai  64 juta penduduk dan meninggalkan banyak kota-kota besar dan koloni-nya diberbagai tempat di dunia.  Salah satu ciri khusus dari peninggalan bangsa Mu atau Naacal ini adalah simbol (Dewa) Matahari dan (manusia) burung yang terukir diberbagai artefak dan peninggalan megalitik di banyak tempat di dunia, termasuk patung-patung batu besar (Moai) di Pulau Easter, Polinesia.   Namun, berbeda dengan interpretasi Le Ploengon, Churhward percaya bahwa daratan besar yang tenggelam dari leluhur bangsa Maya (dan juga bangsa-bangsa lainnya, termasuk Mesir dan Yunani) adalah di tengah-tengah Samudra Pasific, bukan di Samudra Atlantic.

Baik karya Le Ploengon ataupun Churchward dua-duanya banyak dicemoohkan oleh kalangan ilmiah.  Yang Menarik, alasan utama kenapa karya mereka ‘dibuang’ adalah karena berhipotesa tentang benua yang tenggelam di tengah samudra , yang satu bilang di Atlantic lainnya di Pasific, karena ini adalah hal yang mustahil untuk dunia ilmiah, khususnya menurut ilmu geologi.  Gara-gara interpretasi yang sembrono inilah maka kerja keras mereka yang sesungguhnya menjadi ikut dianggap sampah, sama seperti halnya Santos yang membuat hipotesa konyol tentang letusan gunung berapi yang mencairkan es.  Aneh juga kalau dipikir sepintas lalu bahwa mengajukan benua (khayalan) yang tenggelam di tengah Samudra sepertinya dianggap lebih masuk akal dibandingkan mengusulkan daratan yang benar-benar pernah ada, yaitu Sundaland.  Tapi harus diingat bahwa ketika zaman Le Ploengon dan Churchward, perihal geologi dari Sundaland belum banyak diketahui dan dipahami orang.

Cerita daratan besar tenggelam lain yang tidak kalah menariknya adalah “Kumari Kandam” yang disebut dalam literatur kuno Sangam-Tamil (tertulis pada awal Masehi), India (http://en.wikipedia.org/wiki/Kumari_Kandam) .  Diceritakan bahwa dulu ada Kerajaan kuno Pandiyanyang berada di dataran antara Sungai Besar Pahruli dan Kumari dengan wilayah pegunungan disekitarnya.  Kemudian ‘laut yang kejam’ mengambil (=menenggelamkan) dataran dan sungai besar itu sehingga sang raja Pandiyan  menaklukan tanah raja Chola dan Chera (di India) sebagai penggantinya.  Menarik untuk dicatat bahwa sungai purba besar di Sundaland pun ada dua, yang satu berada di Selat Karimata sekarang dan bermuara ke Laut Cina Selatan, dan satu lagi berada di Laut Jawa sekarang dan bermuara ke timur, yaitu di selatan Selat Makasar.  

Lokasi dari Tanah Pandiyan itu dideskripsikan berada di ‘selatan’ semenanjung India yang kemudian oleh kongres nasionalis Tamil, Kumari Kandam ini tidak lain adalah LEMURIA, pusat peradaban dunia, dan letaknya di tengah Samudra Hindia.  R. Mathivanan, kepala editor “Etymological Dictionary Project dari Pemerintahan Tamil Nadu, meng-klaim bahwa dia bisa memecahkan transkrip kuno dalam artefak Indus yang isinya antara lain menginformasikan bahwa peradaban Kumari Kandam (sebagai leluhur bangsa Tamil) mulai berkembang sejak 50 ribu tahun lalu sampai tenggelamnya karena banjir besar (sejak) 16 ribu tahun lalu; kemudian 6 ribu SM Raja Pandiya  dari Kumari Kandam mulai mendirikan kerajaan kedua di tanah barunya, yaitu di wilayah India sekarang, dsb.dst.  Yang sangat janggal, kongres tamil ini bersepakat bahwa lokasi Kumari Kandam itu di tengah-tengah Samudra Hindia yang jelas-jelas tidak bisa diterima oleh sejarah geologi karena di situ tidak pernah ada tanah tenggelam ribuan-puluhan ribu tahun lalu. 

Yang benar, sejarah tektonik mengatakan bahwa pulau India itu 90 JUTA tahun lalu lokasinya memang berada di Samudra Hindia sekarang, kemudian karena proses tektonik lempeng daratan ini melaju ke utara dengan kecepatan sampai 20 centimeter/tahun sampai akhirnya mulai menabrak Benua Asia sekitar 50-45 JUTA tahun lalu yang karenanya pegunungan Himalaya sekarang ada.  Jadi kalau dikaitkan dengan geologi maka kisah daratan Kumari Kandam di Samudra Hindia waktu kejadiannya kekurangan tiga angka NOL.  Apakah Kongres Tamil waktu itu tidak terpikir untuk melirik ke daratan tenggelam yang lebih masuk akal yaitu Sundaland? Boleh jadi bersikap nehi-nehi terhadap kemungkinan itu karena sampai saat ini Bangsa India dikenal sebagai pembina peradaban Indonesia,  masa iya harus mengakui sebaliknya,  Wallahualam.

Sampai saat ini bencana katastrofi yang menghancurkan Atlantis, dari sudut pandang ilmiah, tetap masih merupakan misteri yang harus diteliti serius.  Timaeus dan Critias hanya mengatakan bahwa bencana itu dimulai dengan satu malam diguyur hujan yang sangat lebat kemudian datanglah bencana gempa dan banjir atau tsunami, diikuti oleh gejala penurunan tanah. 

Apakah maksudnya gempa tektonik?  Di Sundaland gempa dan tsunami besar hanya bisa dihasilkan oleh zona subduksi, atau disebut juga sebagai “megathrust”, seperti halnya yang menyebabkan tsunami Aceh tahun 2004, Pangandaran tahun 2006 dan tsunami di Pagai, Mentawai tahun 2010.  Apabila Kota Metropolis  Atlantis itu berada di dekat Selat Sunda, maka sumber gempa mautnya kemungkinan besar adalah megathrust  dengan skala sangat besar di wilayah Selat Sunda, katakanlah sampai 9.5 SR atau lebih, sehingga memecahkan batas lempeng dari mulai barat Sumatra – Selat Sunda – sampai ke Selatan Jawa.  Apakah goyangan dari gempa  seperti ini cukup untuk merontokkan Atlantis dan membangkitkan tsunami yang menenggelamkan Kota Metropolisnya?   Mungkin saja, tapi taksiran saya mungkin harus dibarengi dengan longsoran besar di bawah laut di dekat  Selat Sunda untuk  bisa membangkitkan tsunami sampai lebih dari seratus meter. 

Dan boleh jadi juga keberadaan kanal-kanal air di wilayah dataran Atlantis ini menjadi jalan bagi gelombang tsunami untuk merambat jauh ke daratan.  Perlu ada  pemodelan tsunaminya untuk bisa lebih kuantitatif dan pasti.  Gempa Megathrust di zona Subduksi Sumatra-Selat Sunda-Jawa juga dapat menyebabkan penurunan tanah atau “tectonic subsidence” di wilayah Selat Sunda ke timur.  Jadi hipotesa ini kelihatannya cocok dengan deskripsi dalam Dialog Plato.  

Kalau benar ada gempa raksasa yang pernah terjadi di wilayah Selat Sunda, maka hal ini cukup menakutkan karena segmen megathrust di wilayah Selat Sunda statusnya “seismic gap” (tidak pernah mengeluarkan gempa besar) dalam perioda yang sangat panjang,  alias dicurigai sudah mengumpulkan energi yang sangat besar sehingga siap memuntahkan energinya seperti pada masa purba untuk menghancurkan wilayah Kota Metropolis saat ini, yaitu Jakarta.

Walaupun demikian hipotesa bencana letusan gunung api tetap tidak bisa sama sekali diabaikan.  Dengan asumsi bahwa keterangan dalam Dialog Plato tidak lengkap sehingga tidak menyinggung ada fenomena ini, atau barangkali saja ada dalam Dialog Plato yang terputus atau hilang.  Selain itu gempa tektonik bisa juga memicu letusan gunung api. 

Gunung api serta bumbungan letusannya ke angkasa banyak diasosiasikan oleh orang dengan istilah “Pillars of Heracles”.  Dari jejak kaldera yang terlihat sekarang bisa disimpulkan bahwa Krakatau Purba dulu lebih besar dari Krakatau yang meletus dahsyat tahun 1883.  Bahkan, ada yang menduga diameternya sampai 50 km melewati Gunung Sibesi – Rajabasa, Pulau Sangiang – Anyer – Komplek Krakatau yang aktif sekarang.  Letusan yang menghasilkan kaldera sebesar ini tentu benar benar katastropik, tidak hanya memusnahkan Atlantis tapi merupakan bencana global seperti halnya Letusan Toba sekitar 70.000 tahun lalu.  Namun, sejarah geologi letusan Krakatau pada masa purbakala masih gelap, sehingga saat ini kita hanya bisa berandai-andai saja.

Selain gunung api, orang bisa juga berhipotesa bahwa gempa yang dimaksud dalam Dialog Plato bukan gempa tektonik ataupun vulkanik, tapi karena ada tumbukan meteor besar.  Kalau ini yang terjadi, tsunami yang dibangkitkan bisa sangat besar, sampai ratusan meter.  Tumbukan meteor juga menimbulkan dampak iklim global yang mematikan, seperti halnya yang pernah terjadi 60juta tahun lalu yang memusnahkan hampir semua mahluk hidup di dunia termasuk dinosaurus.  Singkatnya, bencana yang pernah menghancurkan Atlantis di masa Pra-Sejarah adalah hal yang masih harus diteliti dan dicari fakta-faktanya.

Selanjutnya, kronologi kejadian tenggelamnya Atlantis pada 11.600 tahun lalu yang dikatakan dalam Dialog Plato sangat menarik karena pada masa itu pengetahuan geologi tentang adanya Zaman Es dan kenaikkan muka airlaut dari  20.000 tahun BP sampai 8000 tahun BP belum ada. 

Jadi bagaimana orang bisa ‘berkhayal dengan cerdik’ dengan menempatkan waktu musnahnya peradaban Atlantis pada perioda terjadinya kenaikkan muka airlaut global tersebut?  Ada tiga kali pulsa perioda kenaikkan air laut yang relatif sangat cepat, yaitu yang disebut sebagai Melt Water Pulse (MWP) 1a, 1b, 1c pada sekitar 15.000-14.000 BP, 13.000-12.000 BP dan 11.000-8.000 BP. Timing 11.600 tahun lalu kira-kira ada diantara MWP 1b dan 1c.  Data detail tentang sejarah geologi kenaikkan muka airlaut sejak 20.000 tahun lalu di Sundaland masih sangat minim sehingga resolusinya masih rendah.  Denga kata lain seberapa cepat air laut bisa naik karena es meleleh, atau keberadaan naik air laut yang tiba-tiba pada MWP 1a,b,c masih harus diteliti lebih lanjut. 

Apalagi kalau misalnya ada kenaikan air laut tiba-tiba yang sangat besar tapi hanya “spike” alias banjir besar dalam perioda yang singkat (karena surut lagi), maka hal ini tidak akan terekam dalam sejarah geologi kecuali kita punya rekaman data alam yang resolusinya tinggi, misalnya harian, mingguan, bulanan, atau juga tahunan.  Rekonstruksi yang ada sekarang adalah kenaikkan muka air laut yang resolusinya rendah, dan bukan berasal dari data di Laut Jawa.
Jadi apa kesalahan hipotesis Sundaland adalah Atlantis?  Tidak ada cela bahwa Sundaland memenuhi semua kriteria yang diberikan Plato, meskipun tentu saja semua itu harus diteliti dan dicari fakta-fakta di lapangannya. 

Mungkin yang bisa dianggap kekurangan Sundaland  sebagai Atlantis adalah karena ‘fakta’ bahwa sejarah Nusantara baru diketahui mulai sekitar Abad 4 Masehi.  Zaman sebelum itu oleh para arkeolog dianggap masih primitif.  Meskipun nyatanya banyak tinggalan megalitikum yang hebat-hebat dari zaman pra-sejarah di Indonesia yang masih misterius asal-usul dan umurnya, termasuk  tinggalan megalitik yang sangat berlimpah di wilayah Pagar Alam, atau batu-batu Menhir besar yang menakjubkan di Lembah Bada, Sulawesi Tengah.  

Itu baru yang terlihat di permukaan, belum yang masih tertimbun dibawah tanah.  Dengan kata lain belum ada data (yang cukup) tentang peradaban di zaman pra-sejarah tidak bisa diartikan menjadi tidak ada peradaban di zaman pra-sejarah.  Hal sama juga menyangkut keberadaan peradaban Athena purba  dalam Dialog Plato karena dari pengetahuan arkeologi yang diyakini “mainstream”, tidak ada peradaban di Yunani 11.600 tahun lalu, bahkan di Eropa atau di seluruh dunia.  Jadi ini masalah dunia.  Meneliti keberadaan peradaban tinggi pada zaman pra-sejarah Indonesia adalah satu tahap yang sangat penting.

Pendapat umum kalangan arkeologi di Indonesia meyakini bahwa populasi manusia dan peradaban Nusantara berasal dari daratan besar Cina yang dibawa oleh imigran via Taiwan ke selatan sekitar 6000-5000 tahun lalu.  Namun, Teori “Out of Taiwan” yang  dipelopori oleh Peter Bellwood ini sekarang sudah mulai banyak dianggap tidak cocok dengan berbagai hasil penelitian dan temuan baru sehingga mulai dikembangkan teori tandingannya yaitu “Out of Sundaland” yang sebaliknya mengatakan bahwa asal mula peradaban dari bangsa-bangsa didaratan Asia (dan juga dunia) adalah dari Asia Tenggara atau Sundaland.  

Salah satu yang terkenal mendukung “Out of Sundaland” ini adalah Stephen Oppenheimer dengan berbagai makalah ilmiah dan juga buku populernya “Eden in The East”.  Awalnya Oppenheimer tergerak untuk meneliti ini karena dia melihat Asia Tenggara adalah wilayah yang mempunyai keragaman dan kekayaan budaya yang tiada duanya di dunia, sehingga kenapa selama ini para ahli memandangnya sebelah mata dan sepert percaya buta begitu saja  dengan Out of Taiwannya Bellwood yang memposisikan budaya Asia tenggara hanya sebagai cabang sekunder dari peradaban daratan Asia.

Penelitian Oppenheimer yang keahlian dasarnya adalah seorang dokter dan ahli biomolekuler  menunjukkan bahwa nenek moyang dari kebanyakan bangsa Indonesia yang hidup sekarang sudah tinggal di sini sejak 50.000 tahun lalu.  Kemudian dari penelusuran arkeologi, anthropologi, linguistik, dan bahkan sampai berbagai tradisi dan mitos-mitos, Oppenheimer berkesimpulan bahwa  Sundaland atau Asia Tenggara sekarang adalah pusat budaya Austronesia dan polinesia.  

Teknologi peternakan dan pertanian sudah ada di Sundaland jauh sebelum orang-orang dari Taiwan datang ke Nusantara, 6000-5000 tahun lalu.  Bahkan teknologi pelayaran itu pertama dikembangkan di Bumi Nusantara antara 16.000 – 8.000 tahun lalu.  Dia berpendapat bahwa kemampuan berlayar ini ‘terpaksa’dikembangkan untuk menghadapi tiga episoda banjir besar. 

Pendapat ini ditunjang oleh hasil pemetaaan DNA yang mengindikasikan ada penyebaran populasi di wilayah Sundaland ketika tiga kali episoda banjir tersebut.  Ekspansi populasi dan peradaban dari Sundaland akibat iklim global dan kenaikkan muka airlaut ini juga sejalan dengantemuan-temuan penelitian lintas disiplin keilmuan dari Universitas Leeds, Belanda yang dipimpin oleh Martin Richards, professor pertama di bidang “archeo-genetics”.   

Jadi singkatnya, Oppenheimer dan sejumlah pendukung Teori “Out of Sundaland” memang tidak langsung mengkaitkan temuannya  dengan isyu Atlantis atau LEMURIA dan untuk pembahasan ilmiah memang tidak perlu dikait-kaitkan; namun opsi Sundaland sebagai pusat peradaban yang lebih tua dari peradaban yang dibawa oleh “Out of Taiwan” ini akan membuka pintu lebih lebar untuk menguak tabir misteri Atlantis.

Pembuktian langsung bahwa ada peradaban (tinggi) di zaman pra-sejarah adalah apabila ditemukan monumen besar dan hebat dari zaman pra-sejarah, seperti dikatakan Plato bahwa sebagai bukti dari Atlantis maka disuruh mencari “sacred monument” yang biasanya didirikan di dekat mata-mata air di wilayah pegunungan (A-38).  Siapa tahu Situs Megalitik Gunung Padang adalah salah satu kuncinya.  Akhir kata, menarik untuk menyimak kata-kata mutiara dari Dr. J. Robert  Oppenheimer, Direktur Project Manhattan – Bom Nuklir USA di bawah ini terasa mengena untuk mendorong pemikiran-pemikiran baru dalam sains dan penelitian, termasuk yang kontroversial atau bahkan yang terlihat tidak masuk akal sekalipun:



There must be no barriers to freedom of inquiry There is no place for dogma in science. The scientist is free, and must be free to ask any question, to doubt any assertion, to seek for any evidence, to correct any errors. Where science has been used in the past to erect a new dogmatism, that dogmatism has found itself incompatible with the progress of science; and in the end, the dogma has yielded, or science and freedom have perished together”. (J.R. Oppenheimer, 1949). Sumber.


Bookmark and Share

0 comments:

Posting Komentar