Santa Cruz (Jakarta) - Kepiawaian Soekarno dalam membangkitkan semangat bangsa dengan pidato-pidato patriotnya sangat diagungkan masyarakat Indonesia bahkan internasional.
Namun keunggulan itu sempat terpuruk dengan isunya yang mengatakan kalau Soekarno adalah seorang komunis.
Pertanyaan di atas sudah terlalu sering kita dengar. Terlebih diawal berdirinya ORBA atau saat-saat awal runtuhnya kekuasaan Bung Karno.
Mengapa isu itu harus dihembuskan ? Jawabnya hanya satu: Masyarakat Indonesia sangat religius dan sangat sulit menerima kehadiran seorang komunis. Maka hanya dengan mengisukan bahwa Soekarno komunislah usaha untuk melepaskan ikatan batin antara Soekarno dan masyarakat yang mencintainya akan berhasil.
Bung Karno, lahir bukan dari keluarga muslim dalam pengertian seperti keluarga “pak haji”. Ibunya dari Bali, yang tentu saja sebelumnya memeluk Hindu sebagai keyakinannya. Ayahnya? Seperti kebanyakan muslim Jawa tempo doeloe, yakni seorang muslim “abangan”, cenderung kejawen. Dia mengenal rukun Islam, dia menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai orang Islam, tetapi juga menjalankan ritual-ritual kejawen yang sarat mistik.
Perkenalan Sukarno dengan Islam lebih dalam, diakuinya saat usia 15 tahun, saat ia duduk di bangku HBS. Yang memperkenalkan adalah H.O.S. Cokroaminoto. Ia bahkan terbilang rajin mengikuti pengajian Muhammadiyah, di sebuah tempat di seberang Gang Peneleh, Surabaya, tempat ia tinggal bersama keluarga Cokro. Sekali dalam sebulan, ia mengaji di sana, dari pukul 20.00 hingga larut malam.
Akan tetapi, pendalaman terhadap Alquran diperoleh tahun 1928, saat ia mendekam di sel nomor 233 penjara Sukamiskin, Bandung. Segala bacaan yang berbau politik dilarang, jadilah ia mendalami Alquran sedalam-dalamnya. Kepada penulis biografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengaku, sejak itu ia tak pernah meninggalkan sujud lima kali sehari menghadap ka’bah: Subuh, dhuhur, ‘asar, maghrib, dan isya.
Ia sendiri meragukan kalau ada manusia yang bertahun-tahun disekap dalam dunia penjara yang gelap, tetapi masih meragukan adanya Tuhan. Akan halnya Sukarno, ia bertahun-tahun mendekam di balik jeruji besi. Malam-malam yang gelap, ia hanya bisa mengintip kerlip bintang di langit dari sebuah lubang penjara yang sempit. Manakala rembulan melintas, sejenak sinarnya mengintip Bung Karno di dalam penjara.
Masa-masa yang gelap di dalam penjara, masa-masa di mana ia tak bisa menelan bulat-bulat indahnya purnama dan bintang-gemintang, Bung Karno hanya bisa tertunduk sendiri. Ia sungguh tak tahu nasib akan berkata apa saat fajar menyingsing nanti. Soekarno menuturkan, dalam keadaan seperti itulah, sholat malam menjadi begitu khusuk.
Pengkajian alquran yang intens, menempatkan kesadaran tertinggi seorang Soekarno, bahwa Tuhan bukanlah suatu pribadi. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagat raya. Ia Maha Kuasa. Ia Maha Ada. Tidak hanya di pengapnya ruang penjara, akan tetapi ada di mana-mana. Ia hanya esa.
Tuhan ada di atas puncak gunung, di angkasa, di balik awan, di atas bintang-bintang yang ia lihat setiap malam-malam tak berawan. Tuhan ada di venus. Tuhan ada di Saturnus, Ia tidak terbagi-bagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada di mana-mana, di hadapan kita, di belakang kita, memimpin kita, menjaga kita.
Sampai pada kesadaran yang demikian, Bung Karno insaf seinsaf-insafnya, bahwa tak ada satu pun yang patut ia takutkan, karena ia sadar betul bahwa Tuhan tak jauh dari kesadarannya. Yang ia perlukan hanyalah bermunajat ke dalam hati yang terdalam untuk menemuiNya. Ia pun memasrahkan setiap langkahnya agar senantiasa dipimpin oleh Tuhan yang ia sembah dalam menggelorakan revolusi kemerdekaan.
0 comments:
Posting Komentar