Perseteruan Google dan China kembali berkobar. Dalam bukunya yang segera
terbit, Ketua Dewan Direktur Google, Eric Schmidt, menyebut China
sebagai negara dengan aksi retas paling canggih
dan berbahaya. Pernyataan tersebut dipaparkan Schmidt dalam buku
barunya yang berjudul "The New Digital Age," yang akan beredar pada
April 2013.
Di buku tersebut, yang dikutip harian Wall Street Journal pada Senin 4 Februari 2013, dia menggambarkan China sebagai sebuah kekuatan super berbahaya yang menggunakan "kompetisi tidak sehat" untuk menjungkalkan para pesaing.
"Kesenjangan antara perusahaan Amerika dan China, dan masing-masing taktiknya, jelas merugikan posisi kedua pemerintah dan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat," tulis Schmidt, seperti dilansir Guardian, Senin, 4 Febuari 2013.
Schmidt beralasan Amerika Serikat tidak akan mengambil jalan yang sama dari spionase korporasi digital.
"Karena hukum di Amerika Serikat lebih ketat, dan karena kompetisi ilegal melanggar fair play.Ini nilai-nilai yang berbeda, bahkan dilihat dari kacamata hukum," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Google telah berulang kali bersitegang dengan pihak berwenang China. Beijing bereaksi marah atas klaim Google terkait tuduhan Negeri Tirai Bambu meretas akun Gmail.
Pada tahun lalu, layanan Google ini telah diblokir pasca Partai Komunis di China menunjuk pucuk pemimpin baru untuk satu dekade ke depan.
Di buku itu, Schmidt dan rekan penulis Jared Cohen juga menyebut China sebagai negara penyaring informasi teraktif, serta negara terproduktif dan tercanggih dalam hal meretas perusahaan-perusahaan asing.
Komentar Schmidt muncul setelah dua harian besar Amerika, The New York Times dan Wall Street Journal. Menurut BBC, Wall Street Journal mengaku sistem komputernya diretas oleh para spesialis di China, yang berupaya memantau liputan koran tersebut mengenai Negeri Tiongkok.
Harian The New York Times pun mengaku sistem komputer mereka berkali-kali diserang para peretas dalam empat bulan terakhir. Keluhan serupa juga diutarakan para perusahaan asing lainnya. Pemerintah China membantah tuduhan-tuduhan itu.
Jadi Bumerang
Namun, Schmidt juga yakin bahwa teknologi yang digunakan China untuk menyerang sistem komputer pihak asing bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pasalnya, banyak pula warga China yang menggunakan Internet untuk mengritik pemerintah dengan berbagai siasat, walau harus mengalami sensor ketat di dalam negeri.
"Kombinasi antara warga aktif yang dipersenjatai dengan perangkat teknologi dan kontrol pemerintah yang teramat ketat sangat mudah bergejolak," tulis keduanya, dalam buku mereka yang juga dikutip harian The Guardian.
Situasi itu, bagi Schmidt dan Cohen dalam buku mereka, bisa mengarah kepada meluasnya instabilitas. China, tulis mereka, akan "mengalami semacam revolusi di beberapa dekade mendatang."Sekitar bulan lalu, Schmidt memberikan kuliah di Cambridge University. Dia mengatakan, Internet akan menang pada akhirnya.
"Tidak ada negara dengan situasi memburuk setelah kedatangan Internet," katanya. "Bahkan, di China, sebuah rezim bisa dipermalukan dengan postingan di Twitter maupun Weibo," tambah Schmidt.
Di buku tersebut, yang dikutip harian Wall Street Journal pada Senin 4 Februari 2013, dia menggambarkan China sebagai sebuah kekuatan super berbahaya yang menggunakan "kompetisi tidak sehat" untuk menjungkalkan para pesaing.
"Kesenjangan antara perusahaan Amerika dan China, dan masing-masing taktiknya, jelas merugikan posisi kedua pemerintah dan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat," tulis Schmidt, seperti dilansir Guardian, Senin, 4 Febuari 2013.
Schmidt beralasan Amerika Serikat tidak akan mengambil jalan yang sama dari spionase korporasi digital.
"Karena hukum di Amerika Serikat lebih ketat, dan karena kompetisi ilegal melanggar fair play.Ini nilai-nilai yang berbeda, bahkan dilihat dari kacamata hukum," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Google telah berulang kali bersitegang dengan pihak berwenang China. Beijing bereaksi marah atas klaim Google terkait tuduhan Negeri Tirai Bambu meretas akun Gmail.
Pada tahun lalu, layanan Google ini telah diblokir pasca Partai Komunis di China menunjuk pucuk pemimpin baru untuk satu dekade ke depan.
Di buku itu, Schmidt dan rekan penulis Jared Cohen juga menyebut China sebagai negara penyaring informasi teraktif, serta negara terproduktif dan tercanggih dalam hal meretas perusahaan-perusahaan asing.
Komentar Schmidt muncul setelah dua harian besar Amerika, The New York Times dan Wall Street Journal. Menurut BBC, Wall Street Journal mengaku sistem komputernya diretas oleh para spesialis di China, yang berupaya memantau liputan koran tersebut mengenai Negeri Tiongkok.
Harian The New York Times pun mengaku sistem komputer mereka berkali-kali diserang para peretas dalam empat bulan terakhir. Keluhan serupa juga diutarakan para perusahaan asing lainnya. Pemerintah China membantah tuduhan-tuduhan itu.
Jadi Bumerang
Namun, Schmidt juga yakin bahwa teknologi yang digunakan China untuk menyerang sistem komputer pihak asing bisa menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pasalnya, banyak pula warga China yang menggunakan Internet untuk mengritik pemerintah dengan berbagai siasat, walau harus mengalami sensor ketat di dalam negeri.
"Kombinasi antara warga aktif yang dipersenjatai dengan perangkat teknologi dan kontrol pemerintah yang teramat ketat sangat mudah bergejolak," tulis keduanya, dalam buku mereka yang juga dikutip harian The Guardian.
Situasi itu, bagi Schmidt dan Cohen dalam buku mereka, bisa mengarah kepada meluasnya instabilitas. China, tulis mereka, akan "mengalami semacam revolusi di beberapa dekade mendatang."Sekitar bulan lalu, Schmidt memberikan kuliah di Cambridge University. Dia mengatakan, Internet akan menang pada akhirnya.
"Tidak ada negara dengan situasi memburuk setelah kedatangan Internet," katanya. "Bahkan, di China, sebuah rezim bisa dipermalukan dengan postingan di Twitter maupun Weibo," tambah Schmidt.
0 comments:
Posting Komentar