(Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk) |
Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, dengan di dampingi Mahapatih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai zaman kejayaannya. Layaknya ibundanya yang telah merantas jalan kejayaan negara, maka Dyah Hayam Wuruk kian mengangkat Majapahit menjadi negara besar dan kuat.
TRajasanagara (Dyah Hayam Wuruk/Sanghyang Wkas ing Sukha), memerintah tahun 1272-1311 Saka (1350-1389 AD). Bergelar nobat Paduka Sri TIKTAWILWAnagareswara Sri Rajasanagaragharbott-pasutinama Dyah Sri Hayam Wuruk atau Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk.
Dyah Hayam Wuruk adalah utra sulung (putra mahkota) pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana (Cakradhara). Sejak dilahirkan (1256 Saka/1334 AD) ia telah ditandai sebagai sosok yang akan membawa puncak kebesaran Majapahit sebagai negara adhikuasa. Itu sebabnya rakawi Mpu Prapanca (Nagarakrtagama) melantunkan kehidupan Dyah Hayam Wuruk sedemikian mempesona seakan ‘tiada ada satupun’ mahluk mampu mengganggu kedamaian pemerintahan sosok ‘Sanghyang Wkas ing Sukha’. Bahkan bumi pun turut menyambut kelahirannya dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud.
Silsilah Hayam Wuruk
Hayam Wuruk adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Pada masa pemerintahannya, Dyah Hayam Wuruk melanjutkan perluasan politik yang telah dirintis bundanya. Gerakan politik pertama dilakukan tahun (1259 Saka/1377 AD), me-naklukkan raja-raja di wilayah Sumatra, diantaranya Kerajaan Pasai dan Aru (Deli, dekat Medan sekarang); selanjut-nya menghancurkan sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Layaknya ibundanya yang telah merantas jalan kejayaan negara, maka Dyah Hayam Wuruk kian mengangkat Majapahit menjadi negara besar dan kuat. Perluasan pembangunan negara tidak hanya di bidang politik luar negri, tetapi diimbangi dengan memberikan kesejahteraan masyarakatnya di berbagai bidang (ekonomi, politik maupun kesenian).
Dya Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air bagi kepentingan irigasi dan untuk mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai dibuat untuk transportasi dan bongkar muat barang komoditi perdangan. Begitu pun bidang karyasatra mengalami kemajuan pesat, para Rakawi membuahkan karya-karya silunglung sebagai bakti yang tinggi kepada raja dan negara Majapahit. Dua karyasastra yang paling utama adalah Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis Rakawi Mpu Prapanca), dan Kakawin Sutasoma ditulis oleh Rakawi Mpu Tantular sebagai karya besar yang digubah pada tahun yang sama (1287 Saka /1365 AD).
Peristiwa Bubat
Pararaton menuturkan tahun 1273Saka/1351 AD, Dyah Hayam Wuruk berniat menikahi putri Diah Pitaloka Citraremi (puteri raja Penguasa Tatar Sunda berpusat di Ciamis, Jawa Barat). Sesuai adat tradisi perkawinan kala itu, maka pihak mempelai wanita mendatangi mempelai pria. Saat sama Mahapatih Gajah Mada sedang melaksanakan ambisi perluasan politik cita-cita yang diikirarkan dalam Sumpah Palapa.
Mahapatih Gajah Mada menyambut rombongan Kerajaan Sunda (-Galuh) di lapangan Bubat, tandang meminta agar ‘Raja Sunda (-Galuh) segera tunduk kepada Majapahit, dan calon mempelai putri diserahkannya sebagai upeti’. Penghinaan tiada tara yang dilontarkan Mahapatih Gajah Mada membuat rombongan Kerajaan Sunda(-Galuh) berang, terjadilah perang di lapangan Bubat.
Layaknya ‘pucuk layu disiram hujan’ saat sejak lama diharapkan Gajah Mada di dalam rancangan politiknya kini tiba. Kekuatan tidak berimbang mengakibatkan seluruh pihak mempelai wanita dan rombongan Kerajaan Sunda(-Galuh) gugur tiada bersisa. Sejarah mencatat kendatipun terjadi peristiwa ‘massacre’ Bubat yang dilakukan Mahapatih Hamengkubhumi Gajah Mada namun Kerajaan Sunda(-Galuh) tidak pernah menjadi negara ‘jajahan’ negara adhikuasa Majapahit.
Kidung Sundayana dan Pararaton memberitakan bahwa‘betapa gundah perasaan’ Dyah Hayam Wuruk tatkala menyimak‘putri yang lama diidamkannya’ mangkat melakukan‘sati’ atas gugurnya ayahanda dan seluruh kerabat keluarga istana lainnya.
Tahun 1311 Saka/1389 AD, setelah menjalankan roda pemerintahan Majapahit selama 39 tahun, Dyah Hayam Wuruk mangkat. Ia didharmakan di Sarwajnyapurwa, Japan. Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
0 comments:
Posting Komentar