1. Aja Nguthik-uthik Macan Turu
Artinya, aja nguthik-uthik (jangan mengusik), macan turu (harimau tidur). Di Jawa, harimau sering digelari raja hutan. Tentu saja, sebutan “raja” tersebut merupakan kiasan atau padanan. Sebab, “kekuasaan” yang diperoleh bukan karena kebijakan, kearifan, dan kepemimpinannya yang baik, melainkan karena sifat perbuatannya yang dinilai kejam, pemangsa binatang lain, gampang marah, buas, liar, dan selanjutnya. Karena itulah, orang yang memiliki sifat seperti itu lazim disamakan dengan macan atau harimau.
Orang bertabiat buruk sebagaimana harimau pada umumnya ditakuti karena setiap saat dapat membuat onar dan membahayakan orang lain. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sebaiknya dia dibiarkan tenteram (asyik dengan dunianya sendiri), jangan sampai angkaran murkanya kambuh. Manakala yang bersangkutan sedang “tidur” (tabiat buruknya hilang untuk sementara), sekali-kali jangan diganggu atau dibangunkan (dipancing dengan masalah) karena dikhawatirkan sifat buruknya muncul mendadak, sehingga membuat kekacauan dan keributan di mana-mana.
2. Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan
Artinya, dudu sanak (bukan saudara), dudu kadang (bukan kerabat), yen mati (kalau meninggal), melu kelangan (ikut kehilangan). Peribahasa ini merupakan gambaran mengenai eratnya sistem kekerabatan di Jawa, dimana semua warga dihargai tanpa membeda-bedakan keturunan maupun hubungan darah yang ada. Meskipun orang lain, kalau yang bersangkutan mau menyatu atau membaur, maka mereka akan menghargai dan menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Orang Jawa memiliki semangat persaudaraan yang tinggi. Semangat itu membuat mereka mudah bergaul, menjalin persahabatan dengan siapa saja. Sebab, persaudaraan (patembayatan) merupakan cara yang ideal untuk menemukan ketenteraman hidup. Di Jawa, menghormati orang lain (misalnya, tamu) sangatlah diutamakan. Terlebih jika sosok itu telah berjasa. Menghormatinya pun akan diwujudkan dengan bermacam cara, sekaligus menjadi manivestasi balas budi kepada sang pemberi jasa. Karena itulah, ketika sosok yang sangat dihormati dan dihargai itu meninggal, mereka akan benar-benar berduka dan merasa sangat kehilangan. Bahkan, terkadang lebih berduka daripada ketika menghadapi kematian sanak kerabat sendiri.
3. Dudu Sanak Dudu Kadang, Yen Mati Melu Kelangan
Artinya, dudu sanak (bukan saudara), dudu kadang (bukan kerabat), yen mati (kalau meninggal), melu kelangan (ikut kehilangan). Peribahasa ini merupakan gambaran mengenai eratnya sistem kekerabatan di Jawa, dimana semua warga dihargai tanpa membeda-bedakan keturunan maupun hubungan darah yang ada. Meskipun orang lain, kalau yang bersangkutan mau menyatu atau membaur, maka mereka akan menghargai dan menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Orang Jawa memiliki semangat persaudaraan yang tinggi. Semangat itu membuat mereka mudah bergaul, menjalin persahabatan dengan siapa saja. Sebab, persaudaraan (patembayatan) merupakan cara yang ideal untuk menemukan ketenteraman hidup. Di Jawa, menghormati orang lain (misalnya, tamu) sangatlah diutamakan. Terlebih jika sosok itu telah berjasa. Menghormatinya pun akan diwujudkan dengan bermacam cara, sekaligus menjadi manivestasi balas budi kepada sang pemberi jasa. Karena itulah, ketika sosok yang sangat dihormati dan dihargai itu meninggal, mereka akan benar-benar berduka dan merasa sangat kehilangan. Bahkan, terkadang lebih berduka daripada ketika menghadapi kematian sanak kerabat sendiri.
4. Agama Ageming Aji
Artinya, agama (agama), ageming aji (busana berharga). Peribahasa ini lahir dari kepercayaan batin yang dilandasi rasa ketuhanan orang Jawa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan di dalam hidupnya. Dalam pandangan orang Jawa, agama bukan hanya dipahami dalam tataran rasio atau kognitif saja, melainkan harus diyakini hingga menyentuh hati dan diamalkan dalam setiap perbuatan. Karena itulah, agama lebih sebagai ageman (busana atau pakaian). Sedangkan yang disebut dengan aji di sini merupakan simbolisasi dari raja, atau pemegang tampuk kekuasaan negara. Bagi seorang pemimpin, dalam menjalankan roda pemerintahannya diharapkan selalu berpedoman pada nilai ajaran agama. Atau, dengan kata lain, seluruh kebijakannya harus berpedoman pada nilai-nilai agama yang dianut rakyat.
Dengan bertindak seperti itu, sang pemimpin akan terbebas dari perbuatan negatif yang bertentangan dengan agama, maupun yang menyengsarakan masyarakat luas. Prinsipnya, orang Jawa menghendaki pemimpin negaranya juga menjadi pemimpin umat beragama. Mengapa demikian? Karena, seorang pemimpin yang agamis selalu bertindak berlandaskan ajaran agama dalam menyantuni banyak kalangan. Dengan berbuat demikian, ia menjadi pantas diaji-aji, diajeni, diahargai atas kebijaksanaannya yang dapat diterima oleh agama serta rakyatnya.
5. Bener Ketenger, Becik Ketitik, Ala Ketara
Artinya, bener ketenger (benar ditandai), becik ketitik (baik terbukti), ala ketara (buruk kelihatan sendiri). Peribahasa ini menjadi anjuran agar siapa saja tidak takut untuk berbuat baik. Meskipun awalnya belum tampak, pada saatnya nanti pasti akan menemukan maknanya dan dihargai. Dan, manakala berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi, akhirnya akan ketahuan juga.
Peribahasa ini mengingatkan bahwa semua perbuatan – baik yang benar, baik, mau pun buruk – akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Misalnya, berbuat baik kepada orang lain dan telah lama ia tidak membalasnya, maka jangan sekali-kali mengeluh atau merasa kecewa. Sebab, balasan tersebut dapat datang dari mana saja. Bisa jadi datang dari orang lain. Atau, jatuh kepada anak cucu kita.
Siapa pun yang mempunyai niat jelek, sebaiknya mengurungkan niat tersebut. Artinya, jangan gampang melakukan perbuatan buruk, tercela, atau merugikan pihak lain. Di samping hanya akan menghasilkan dosa, jika perbuatan buruk tersebut ketahuan, tentu akan menimbulkan rasa malu yang tak terkira bagi pelakunya. Salah-salah, dia pun selamanya akan dicap sebagai pencuri, tidak lagi dipercaya, dan setiap tindak tanduknya selalu dicurigai oleh masyarakat di lingkungannya.
6. Darbe Kawruh Ora Ditangkarake, Bareng Mati Tanpa Tilas
Artinya, darbe kawruh (mempunyai pengetahuan), ora ditangkarake (tidak dikembangkan atau diamalkan), bareng mati tanpa tilas (setelah meninggal tiada bekas). Peribahasa ini menekankan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Karena, dengan ilmu pengetahuan itulah, mereka dapat membangun peradaban kehidupan yang lebih baik.
Di samping itu, masyarakat tradisional (seperti di Jawa) juga memiliki kepercayaan bahwa ilmu itu sesungguhnya milik Allah, dan manusia hanya sekadar nggaduh (dipinjami) untuk digunakan sebaik-baiknya bagi kemaslahatan umat manusia. Sebab, ilmu tersebut bukan hanya berguna bagi seseorang, tetapi sangat diperlukan oleh jutaan umat manusia lainnya. Oleh karena itu, setiap orang yang berilmu, seyogianya membagi ilmu pengetahuannya kepada orang lain, jangan disimpan untuk diri sendiri saja. Dengan mengamalkan ilmu, seseorang akan memperoleh pahala dan ucapan terima kasih dari banyak orang.
Sebaliknya, jika ilmu itu digenggam sendiri, sama halnya tidak mempunyai tanggung jawab kepada Allah atas pinjaman yang diberikan kepadanya. Apabila kelak dirinya meninggal, orang tidak akan menghargainya karena yang bersangkutan juga tidak pernah memberikan kebaikan (jasa) kepada masyarakat luas.
7. Lambe Satumang Kari Samerang
Artinya, lambe satumang (bibir setebal tumang atau bibir tungku dapur), kari samerang (tinggal sebatang padi). Peribahasa ini sering dijadikan ungkapan oleh orang tua ketika nasihatnya tidak diperhatikan sama sekali oleh anak-anaknya. Bibir setebal tumang merupakan perlambang bahwa pada mulut orang tua terdapat banyak nasihat yang baik. Sementara itu, bibir tinggal setebal batang padi menjadi kiasan bagi orang tua yang telah kehabisan nasihat bagi anak-anaknya.
Peribahasa ini dahulunya sering digunakan untuk melampiaskan kejengkelan orang tua ketika nasihatnya dianggap angin lalu. Seluruh nasihat seperti masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri atau sebalinya. Semua hanya lewat tanpa ada satu pun yang singgah di kepala si anak. Nasihat tersebut berhenti hanya sebatas kata-kata saja tanpa ada perubahan yang baik pada diri si anak.
Di Jawa, sering terdengar kalimat “nggah nggih nggah nggih ora kepanggih”. Cuma menjawa “ya” saja tapi nasihat atau pekerjaan atau tugasnya tidak dilaksanakan sama sekali. Ketika disuruh untuk belajar, anak selalu menghindar. Diajari bekerja, begitu orang tuanya lengah, si anak justru main ke rumah temannya sampai sore. Padahal usianya menjelang remaja. Biasanya untuk menyingkirkan kemampatan bathin, orang tua sering menggerutu dengan “Bocah kok ngentekake lambe! Lambe satuman kari samerang”.
8. Kebo Nyusu Gudel
Artinya, kerbau menyusu kepada anaknya (gudel, Jawa). Peribahasa ini menggambarkan situasi dimana orang tua mau tidak mau harus belajar, atau meminta bantuan kepada anak-anaknya. Anak, dalam konteks peribahasa tersebut, dapat diartikan sebagai kaum muda. Dengan kata lain, orang tua yang seharusnya mengasuh dan menghidupi anaknya kini terbalik harus menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya.
Contoh baiknya, jika ada orang tua yang benar-benar menghabiskan (menjual) harta bendanya untuk menyekolahkan anak. Maka setelah si anak selesai menempuh pendidikannya hingga perguruan tinggi kemudian bekerja, mau tidak mau si orang tua terpaksa ikut anaknya karena sudah tidak memiliki tempat tinggal lagi. Seluruh kebutuhan hidupnya akhirnya pun ditanggung oleh anak.
Contoh jeleknya, jika ada orang tua yang menghabiskan harta bendanya untuk memburu kesenangan duniawi semata untuk berfoya-foya dan sebagainya, akibatnya di hari tua dia terpaksa “numpang hidup” kepada anaknya.
Contoh lainnya adalah, di jaman sekarang ini, teknologi berkembang dengan pesatnya. Maka yang mudalah yang mampu menguasai teknologi tersebut sehingga banyak para generasi tua harus belajar teknologi yang baru dan canggih kepada para kaum muda.
9. Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni
Artinya, blilu tau (bodoh pernah), pinter durung nglakoni (pandai belum mengalami). Bila diterjemahkan secara bebas adalah pernah menjadi si bodoh tetapi belum pernah menjadi si pandai. Ungkapan ini merupakan gambaran dari orang yang tidak pandai dalam hal teori, tetapi cukup ahli (terampil) dalam mengerjakan sesuatu hal karena sudah berpengalaman. Contoh dari peribahasa ini adalah seorang petani. Jika diperhatikan, jarang petani yang ada di pedesaan yang berpendidikan tinggi. Tetapi, semuanya mampu bertani, bercocok tanam, dan beternak. Semuanya mereka lakukan dengan cukup andal. Dari mana ilmu pertanian (bertani) itu didapat.
Jawabannya cukup sederhana, yaitu dari pengalaman. Dari praktik keseharian sambil memperhatikan dan meniru bagaimana orang tua, saudara, atau tetangga melakukan pekerjaan tersebut. Pesan utama dari peribahasa ini adalah jangan takut mencoba mengerjakan segala sesuatu meskipun belum memiliki teori yang cukup. Artinya, memahat kayu, mencangkul sawah, dan sebagainya adalah bukan pekerjaan yang sulit. Dengan banyak mencoba dan tidak banyak keraguan kemudian mengerjakannya seperti orang lain melakukannya maka akan terampil juga. Asalkan berhati-hati, tekun, telaten, dan pantang menyerah. Memang, dalam hal ilmu, petani kalah dengan sarjana pertanian. Namun dengan pengalamannya, untuk menghasilkan padi, palawija, dan sayuran, keterampilan para petani dapat diandalkan.
10. Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
Artinya, desa mawa cara (desa mempunyai adat sendiri), negara mawa tata (negara memiliki tatanan, aturan, atau hukum tertentu). Peribahasa tersebut memuat inti dari pandangan kalangan tradisional Jawa yang menghargai adanya pluralitas dengan segala perbedaan adat kebiasaannya. Kaitannya dengan pandangan ini, desa telah membentuk kebiasaan (angger-angger) untuk lingkungan sendiri yang cenderung lebih lentur. Sementara negara memang memerlukan hukum atau peraturan yang lebih tegas, namun bersumber pada adat-istiadat yang tumbuh berkembang di masyarakat.
Peribasaha ini juga mengingatkan kepada para pendatang yang tinggal di daerah lain. Di mana pun berada, seseorang harus pandai-pandai memahami, menghormati, dan menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat. Seperti peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mana yang disetujui digunakan, mana yang tidak disepakati jangan diterapkan. Meskipun demikian, janganlah melecehkan nilai-nilai yang tidak disetujui, terlebih bermaksud mengubahnya secara drastis. Sebab, perbuatan tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan pihak lain yang berujung pada konflik yang tidak diiginkan.
11. Kebo Kabotan Sungu
Artinya, kerbau keberatan tanduk. Peribahasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan orang tua yang terlalu berat menanggung beban hidup karena terlampau banyak anak.
Di masa lalu, banyak pasangan suami istri di Jawa yang memiliki anak lebih dari lima, dengan alasan banyak anak banyak rejeki. Namun, yang terjadi sebaliknya. Dengan penghasilan pas-pasan maka beban hidupnya semakin berat sehingga anak-anaknya yang masih kecil harus keluar dari sekolah untuk membantu memenuhi kebutuhan perekonomia keluarga.
Sesuai dengan kodratnya, kerbau hanya mempunyai dua tanduk. Bisa dibayangkan bila mempunyai empat tanduk atau lebih, maka dia akan menderita karena berat tanduk yang berlebihan itu. Demikian juga dengan manusia, apabila jumlah anaknya banyak maka beban hidupnya juga semakin berat.
12. Adedamar Tanggal Pisan Kapurnaman
Artinya, adedamar (menerangi dengan pelita), tanggal pisan (tanggal satu atau tanggal muda), kapurnaman (diterangi sinar bulan purnama). Jika diterjemahkan secara bebas adalah semula akan menggunakan pelita karena masih gelap, namun tiba-tiba malam menjadi terang karena disinari bulan purnama.
Peribahasa ini menggambarkan orang yang bertikai dan salah satu pihak mengadukan pihak lain ke pengadilan. Namun, beberapa waktu kemudian, perkara itu dibatalkan karena yang bersangkutan memperoleh kesadaran, lebih baik perkara itu diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.
Sebagai contoh, ada dua orang bersaudara kandung yang bertengkar memperebutkan harta warisan dari orang tua mereka. Lantaran tidak ada surat waris, dan masing-masing tidak mau mengalah, maka keduanya sepakat menggunakan jalur hukum untuk memperoleh keputusan. Namun, kemudian keduanya disadarkan oleh petunjuk seorang ulama, bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan bagaimana cara membagi warisan yang adil menurut Islam. Akhirnya, mereka memilih damai dan membagi warisan tersebut sesuai dengan hukum waris agama yang dianut.
13. Dagang Tuna Andum Bathi
Artinya, dagang tuna (berdagang rugi), andum bathi (membagi laba). Makna peribahasa ini menggambarkan orang yang melakukan kebaikan secara tidak langsung, tetapi melalui orang lain. Pertanyaannya, mengapa kebaikan itu tidak disampaikan secara langsung? Atau mengapa kebaikan tersebut harus disembunyikan, atau disampaikan lewat orang lain?
Ada banyak kemungkinan untuk menjelaskan mengapa perbuatan itu dilakukan. Umumnya, karena ingin menjaga perasaan maupun harga diri orang yang diberi kebaikan tadi. Kemungkinan yang kedua, lantaran seseorang tidak ingin diketahui telah memberikan kebaikan atau pun bantuan kepada orang lain.
Sifat ini merupakan salah satu sifat terpuji di Jawa. Artinya, memberikan bantuan kepada orang lain dengan ikhlas, tanpa mengharapkan puji sanjung atau pamrih sama sekali. Diri pribadinya pun benar-benar tidak ingin ditonjolkan. Maksud dan tujuannya semata-mata hanya memberi, membantu meringankan beban seseorang. Dalam patembayatan hidup di Jawa, pemberian seperti itu tidak boleh dianggap sebagai hutang. Kapan-kapan, pihak yang diberi pun boleh membalas kebaikan tersebut, namun jangan sekali-kali memaknainya sebagai “membayar hutang”.
14. Kencana Waton Wingka
Artinya, emas berlian tampak bagai pecahan gerabah. Sindiran terhadap orang yang menganggap baik anak sendiri, namun selalu menjelek-jelekkan anak orang lain. Pendapat demikian sangat dipengaruhi sudut pandang subjektif seseorang. Misalnya, perasaan senang dan tidak senang di dalam hatinya. Apabila suasana hati sedang senang, maka sesuatu yang buruk akan kelihatan baik. Sebaliknya, jika hati sedang tidak senang atau bahagia, sebaik apa pun yang ada di hadapannya akan dianggap sebagai hal yang buruk.
Makna peribahasa tersebut lazimnya akan mengungkap ketika kita mendengar orang tua yang memuji anaknya setinggi langit, tetapi merendahkan anak orang lain tanpa kompromi. Misalnya, meskipun anaknya hanya memperoleh peringkat kedelapan di kelas, tetap saja anaknya dipujinya. Tetapi, anak tetangga yang berhasil meraih peringkat pertama, tetap saja disepelekan, hanya karena bersekolah di lembaga pendidikan swasta, sedangkan anaknya duduk di sekolah negeri.
15. Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga
Artinya, curiga manjing warangka (keris masuk sarungnya), warangka manjing curiga (karung keris masuk kerisnya). Peribahasa ini merupakan gambaran dari cita-cita ideal tentang hubungan pemimpin dengan raknyatnya di Jawa. Dimana pemimpin memahami aspirasi rakyat dan mau menyantuni mereka dengan baik, sehingga rakyat bersedia mengabdikan diri dengan ikhlas kepada sang pemimpin.
Hakikatnya, pemimpin memang harus menjaga, mengayomi, menata, dan menghidupkan semangat rakyat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, rakyat pun harus bersedia “mengabdikan diri” kepada pemimpin, dengan cara melaksanakan segala kebijakannya, sehingga terjadi harmonisasi dalam tata kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ungkapan tersebut, pemimpin dilambangkan sebagai keris yang dimasukkan ke dalam sarungnya (masyarakat yang dipimpin). Dengan demikian, tentu akan bermasalah jika keris terlampau panjang atau sarungnya terlalu pendek. Akan tidak masuk juga ketika keris terlampau besar atau sarungnya begitu kecil, dan selanjutnya. Demikian pula hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Kehidupan di sana akan senantiasa dirundung masalah jika terjadi ketidaksesuaian, ketidakserasian, perbedaan sikap, pendapat, pikiran, serta orientasi dari masing-masing pihak.
16. Kacang Mangsa Ninggala Lanjaran
Artinya, kacang (kacang panjang), mangsa ninggala lanjaran (tidak mungkin meninggalkan turus tempatnya merambat). Maknanya, kacang panjang tidak bisa tumbuh dan berbuah dengan baik tanpa merambat peda turus tempatnya memanjat. Apabila dibiarkan, tumbuhnya akan melata di tanah, sehingga pembungaan dan pembuahannya kurang sempurnya.
Peribahasa tersebut menggambarkan perangai atau perilaku anak yang berkonotasi buruk, serta mirip (meniru) orang tuanya yang juga memiliki sifat serupa. Misalnya, dulu ayahnya penjudi dan pencuri. Sekarang, anaknya juga suka bermain judi dan mencuri sejak kecil. Orang tuanya berangasan, suka berkelahi, dan mau menang sendiri, maka anaknya pun mempunyai tabiat yang sama dengan orang tuanya. Sejak kecil, anak itu terkenal nakal, sering bertengkar saat merebut mainan teman-temannya. Seandainya keinginannya tidak terpenuhi, ia pasti mengadu kepada orang tuanya untuk mendapatkan bantuan dan pembelaan.
Bagi yang tanggap, peribahasa ini dapat dijadikan cermin peringatan. Misalnya, dulu orang tua punya sifat atau perilaku yang kurang baik, maka si anak harus berusaha menghindari perbuatan seperti itu, agar tidak dianggap layaknya kacang mangsa ninggala lanjarane. Asalkan berusaha dengan sungguh-sungguh, ia tentu akan menuai hasilnya.
17. Dikempit Kaya Wade, Dujuju Kaya Manuk
Artinya, dikempit kaya wade (dikempit seperti kain dagangan), dijuju kaya manuk (disuapi seperti anak burung). Satu peribahasa yang menjadi gambaran dari orang yang dipelihara, diasuh, dididik, dan diberi makan sebaik-baiknya oleh orang lain termasuk orang tuanya sendiri.
Pada masa lalu, di Jawa terdapat pedagang keliling yang menawarkan kain panjang ataupun bahan baju, dari rumah ke rumah. Dagangan tersebut biasanya dibungkung dengan kain, terkadang digendong atau dikempit di ketiak. Bungkusan dagangan kain itu, dalam bahasa Jawa disebut wade.
Biasanya, peribahasa ini digunakan untuk menggambarkan perlakuan yang dianggap berlebihan terhadap orang lain. Misalnya, perlakuan orang tua terhadap anak, dimana si anak benar-benar disamakan dengan barang berharga yang harus dilindungi dan dijaga dengan ketat. Untuk menunjukkan kasih sayang orang tua, si anak dijaga dan dilindung tak ubahnya “barang berharga”. Bahkan sampai-sampai keadaan anak itu bagai “anak burung” yang terus disuapi dan tidak boleh bersusah payah mencari makan sendiri.
Perlakuan yang berlebihan terhadap anak, menurut adat tradisi Jawa, cenderung tidak dibenarkan. Sebab, dengan cara mengasuh dan menyayangi seperti itu, si anak akan menjadi manja, lemah, jiwanya kurang berkembang, dan akhirnya sulit untuk mandiri.
18. Cilik Diitik-itik, Bareng Gedhe Dipasang Benik
Artinya, cilik diitik-itik (ketika kecil, dipasangi lubang kancing), bareng gedhe dipasang benik (setelah besar, dipasangi kancing baju). Terjemahan bebasnya, sewaktu kecil, dibuatkan lubang kancing. Namun, setelah besar, dipasangi kancing baju.
Peribahasa tersebut merupakan kiasan mengenai hubungan orang tua dengan anak perempuannya. Manakala kecil, si anak disayang, dipelihara dengan baik. Ternyata, setelah besar dan menikah, akhirnya dibawa orang (dibawa suaminya). Memang, jika dilihat sepintas lalu, setelah anak perempuan menikah dan hidup bersama suaminya, apalagi tempat tinggalnya jauh, seolah-olah orang tua merasa tidak memilikinya lagi.
Selain itu, peribahasa ini mengingatkan, jangan sampai anak perempuan benar-benar “meninggalkan” orang tua, meskipun telah bersuami. Sebab, pada hakikatnya, hubungan orang tua dengan anak adalah hubungan darah, sehingga tidak dapat diputuskan begitu saja. Walaupun orang tua tidak pernah meminta balas jasa dalam mengasuh anaknya, sebaiknya sang anak gadis tetap berusaha membalas budi baik orang tua sesuai kemampuannya. Bagaimanapun, hal tersebut akan menjadi tolok ukur seberapa besar bakti si anak terhadap orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya.
19. Anak Polah Bapa Kepradhah, Bapa Kesulah Anak Kapolah
Artinya, anak pola bapa kepradhah (anak bertingkah, bapak atau orang tua yang bertanggung jawab), bapa kesulah anak kapolah (orang tua dihukum dengan dihujani tombak, anak ikut merasakannya). Hal ini merupakan peringatan bagi orang tua agar bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya. Meskipun demikian, tetap harus mempertimbangkan dengan cermat pemintaan si anak, mengenai baik-buruknya atau manfaatnya, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam keluarga.
Peribahasa ini juga sering digunakan untuk mengomentari (menyindir) orang tua yang suka berlebihan menuruti permintaan anak, tanpa mempertimbangkan baik-buruk dan manfaat permintaan itu. Padahal, sesungguhnya dia tahu bahwa permintaan si anak kadang tidak pada tempatnya. Selain itu, peribahasa tersebut dapat pula untuk mengingatkan orang tua yang cenderung sukar meluluskan kehendak anaknya. Sebab, sebagai orang tua yang melahirkan si anak, mau tidak mau dia harus bertanggung jawab meringankan beban hidup sang anak sewaktu-waktu diperlukan.
Peribahasa ini berhubungan pula dengan ungkapan selanjutnya yang menjadi kebalikan dari ungkapan pertama, bapa kesulah anak kapolah. Artinya, orang tua dapat juga merepotkan anak. Karena, baik-buruknya orang tua, si anak pun akan ikut terbawa-bawa.
20. Wong Jawa Nggone Semu, Sinamun ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis
Artinya, wong Jawa nggone semu (orang Jawa cenderung semu atau terselubung), sinamun ing samudana (ditutup kata-kata tersamar), sesadone ingadu manis (masalah apa pun dihadapi dengan muka manis). Makna yang lebih luas adalah, berpikir dan bersikapnya orang Jawa tidak selalu terbuka atau cenderung bersifat simbolik. Penuh sanepa, kiasan, dan perlambangan. Banyak hal tidak dinyatakan dengan terang-terangan, atau lebih bersifat sinamudana (disamarkan).
Contohnya, ketika ada pengemis datang, apabila tidak ingin memberikan sedekah, yang didatangi biasanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Untuk menghindari mengatakan “tidak”, ada juga yang menjawab, “maklume mawon” atau “Sanese mawon …,”. Jika tuan rumah berkata seperti itu, biasanya si pengemis langsung pergi. Padahal, kalau diperhatikan, dua model tuturan tersebut tidak secara eksplisit menyatakan bahwa orang yang bersangkutan tidak akan memberikan sedekah. “Maklume mawon…,” artinya “maafkan saja”. Sedangkan “sanese mawon” artinya “lainnya saja”. Namun begitulah, karena yang didatangi orang Jawa dan pengemisnya juga orang Jawa, mereka sama-sama mafhum. Tanpa harus diberi tahu secara eksplisit bahwa sang tuan rumah tidak akan memberikan sedekah, si pengemis pun bergegas pergi dengan sendirinya.
21. Witing Tresna Jalaran saka Kulina
Artinya, witing tresna (awal mula cinta), jalaran saka kulina (dapat tumbuh karena sering bertemu). Peringatan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan, terutama yang sudah berkeluarga, agar berhati-hati dalam berteman, berhubungan, atau berkomunikasi dengan lawan jenis. Jangan sampai ia melanggar batas kewajaran, karena kedekatan (keakraban) dapat menumbuhkan cinta.
Adapun yang dimaksud dengan keakraban dan kedekatan di sini bukan sebatas ragawi belaka, melainkan lebih bersifat ruhani (batin). Sebab, banyak juga di antara lelaki dan perempuan yang bergaul akrab selama bertahun-tahun, namun tidak tumbuh rasa cinta di hati masing-masing. Sementara itu, ada yang baru bertemu dua atau tiga kali, mereka langsung jatuh cinta setengah mati. Soalnya, cinta adalah urusan batin (kejiwaan) manusia dan sudah menjadi kodrat kemanusiaan itu sendiri. Jadi, yang perlu dijaga adalah “siapa mencintai siapa”. Misalnya, jangan sampai mencintai istri teman sendiri, mencintai saudara sendiri, dan selanjutnya. Dalam adat budaya Jawa, ketika anak lelaki dan perempuan mulai akil baligh, orang tua pasti memerintahkan mereka untuk tidur terpisah, tidak boleh lagi bercanda berlebihan, atau bergelut seperti anak kecil. Langkah demikian untuk menjaga agar jangan sampai mereka terpeleset dan merugi karena terlanjur melanggar norma kesusilaan yang mengundang dosa besar bagi keduanya.
22. Tepa Slira
Artinya, tepa (ukuran), slira (badan). Diukur atau dikenakan di badannya sendiri. Sehingga tepa slira maksudnya adalah imbauan agar segala sesuatu yang terjadi diusahakan untuk diukur atau diterapkan pada diri sendiri. Dengan demikian, sikap dan perbuatan kita tidak akan semena-mena, atau semau sendiri tanpa mempedulikan orang lain.
Tepa slira merupakan salah satu ajaran penting di Jawa dalam menciptakan tenggang rasa. Contohnya, kalau merasa sakit saat dicubit, maka janganlah mencubit orang lain. Jika tersinggung kalau diejek mengenai kelemahan diri sendiri, maka jangan pula mengejek kelemahan orang lain, karena dia juga pasti tersinggung.
Dengan memiliki kebiasaan mengukur (menerapkan) segala sesuatu di badan sendiri, orang yang bersangkutan akan selalu berusaha menghargai orang lain. Tutur katanya dijaga agar tidak menyinggung (menyakiti) siapa pun lawan bicaranya, perangainya lembut karena menyadari bahwa hidup tidak mungkin sendirian dan selalu membutuhkan orang lain. Orang yang telah mengamalkan sifat tepa slira akan jauh dari sikap gumedhe (merasa besar), kuminter (merasa pinter), sawiyah-wiyah (semena-mena), kumalungkung (angkuh), daksiya (suka menyiksa), dan sebagainya yang tidak disukai, menyakitkan, dan merugikan orang lain.
22. Ngono Ya Ngono, Ning Aja Ngono
Artinya, ngono ya ngono (begitu ya begitu), ning aja ngono (tetapi, jangan begitu). Peribahasa ini sebagai peringatan agar orang tidak berbuat berlebihan, sehingga menimbulkan permasalahan baru yang tidak diduga, serta mengganggu orang lain. Jadi, jangan suka berbuat semau sendiri. Segala tindak perbuatan harus dipertimbangkan masak-masak. Sebab, jika berlebihan, akan mendapat teguran karena perbuatan tersebut dapat merugikan atau mengganggu orang lain.
Contoh perbuatan seperti itu banyak. Misalnya, boleh saja menagih utang yang lama belum dibayar. Tetapi, jangan dilakukan di depan umum, karena akan membuat malu pihak yang ditagih. Sebab, jika yang bersangkutan merasa dipermalukan, mungkin saja dia akan marah dan lupa diri. Kalau sudah demikian apa jadinya? Bisa saja urusan tagih-menagih utang itu akan berubah menjadi pertengkaran belaka. Contoh lain, wajar jika sesekali suami istri terlibat cekcok atau bertengkar. Tetapi, pertengkaran itu jangan sampai meledak dan mengganggu tetangga kanan kiri, terlebih jika sampai baku hantam. Tentu tetangga tidak tinggal diam, lantas segera turun tangan. Nah, bukankah peristiwa tersebut sama halnya merepotkan orang lain? Mereka yang tidak tahu duduk permasalahannya terpaksa harus terlibat dengan kejadian tersebut.
23. Manjing Ajur-ajer
Artinya, manjing (masuk), ajur-ajer (hancur-mencair). Terjemahannya, masuk menyatukan diri dengan lingkungan. Peribahasa ini sering digunakan sebagai nasihat, pandai-pandailah menyesuaikan diri di manapun berada agar selamat dan memiliki banyak kenalan. Karena, tanpa berhasil menyatu dengan lingkungan, keberadaan seseorang di sana tak ubahnya lumut yang tumbuh di atas batu. Di musim hujan, ia akan menghijau. Tetapi di kala kemarau datang, ia pun menjadi kering kerontang. Mati sia-sia, tanpa bisa ditolong lagi.
Secara simbolis, peribahasa ini mengajak manusia agar bercermin pada ikan, ketam, anggang-anggang, serta binatang air lainnya yang hidup di sungai. Meskipun berbeda, tetapi komunitas di sana terasa damai. Mereka seia-sekata, membangun kebersamaan hidup yang sesuai sepanjang masa. Artinya, mengamalkan atau mengupayakan sesuatu secara bersama-sama. Sementara itu, yang berbeda dijadikan semacam karangan bunga guna menyemarakkan kebersamaan mereka. Dengan demikian, keakraban pun terjalin bukan semata-mata dalam hubungan lahir, tetapi terpatri hingga ke hati sanubari. Dalam pandangan orang Jawa, sikap tersebut sama halnya dengan telah mengamalkan nilai manjing ajur-ajer, momor momot, nggendhong nyunggi orang lain, seperti halnya nggendhong nyunggi diri sendiri.
24. Giri Lusi, Janma Tan Kena Ingina
Artinya, giri (gunung), lusi (cacing tanah), janma (manusia), tan kena ingina (tidak boleh dihina). Bisa diterjemahkan sebagai “jangan gampang menghina orang yang tampaknya miskin atau berpenampilan sederhana (yang dikiaskan dengan cacing tanah). Sebab, mungkin saja dia justru memiliki kemampuan setinggi gunung.
Menilai orang dari penampilan luarnya saja belum tentu akan memperoleh kesimpulan yang tepat. Soalnya, banyak orang suka menyembunyikan identitas pribadinya di balik penampilan yang kadang teramat sederhana. Misalnya, ketemu laki-laki gondrong, pakaiannya lusuh, wajahnya sangar, trus jangan menganggap dia adalah preman. Mungkin saja dia adalah seorang pelukis yang kondang. Rumahnya mewah, mobilnya banyak dan serba mahal, lukisannya tersebar di seantero dunia dengan harga sampai ratusan juta rupiah.
Ada juga seorang bupati yang suka blusukan ke daerah dengan hanya mengenakan sandal. Penampilannya persis kalangan pihak pidak pedarakan. Berpakaian sederhana dan seadanya, naik bus atau mikrolet ke mana-mana hanya demi menyaksikan dari dekat kondisi daerah serta masyarakatnya. Nah, seaindainya ketemu orang seperti itu dan kita terlanjur memandang rendah, apa jadinya? Karena itulah, menilai orang harus berhati-hati. Siapa tahu, mereka ibarat bathok bolu isi madu? Buruk di luar, tetapi menyimpan kekayaan besar di dalam diri pribadinya.
25. Ajining Dhiri Dumunung ing Lathi, Ajining Raga saka Busana
Artinya, ajining dhiri dumunung ing lathi (nilai pribadi terletak di bibir), ajining raga saka busana (nilai raga tercermin dari pakaian). Terjemahan bebasnya, nilai pribadi seseorang ditentukan oleh ucapan atau kata-katanya, sedangkan nilai penampilannya sering diukur dari busana yang dikenakannya.
Peribaha ini merupakan nasihat agar berhati-hati dalam bertutur kata. Sebab, apa saja yang terucap dari mulut kita akan didengarkan, diperhatikan, dan dipercaya oleh orang lain. Sebagai contoh, apabila kita sering berbohong maka lama-kelamaan akan menghilangkan kepercayaan. Siapa yang suka mengucapkan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, ia akan sulit membangun persahabatan karena orang tidak akan senang dengan ucapannya yang sering menyakitkan hati.
Selain, ajining dhiri dumunung ing lathi, nilai seseorang dapat juga ditentukan oleh pakaiannya. Di Jawa, pakaian bukan saja sekadar penutup aurat, tetapi juga menjadi tolok ukur dari penampilan sesorang. Contonya, seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, namun hanya menggunakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu akan menjadi rerasanan (bahan gunjingan). Bisa juga dianggap tidak menghargai yang punya hajat (tuan rumah) dan tamu undangan lainnya.
26. Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa Rumangsa
Artinya, aja rumangsa bisa (jangan merasa bisa), nanging bisa rumangsa (tetapi bisa merasa). Merasa bisa adalah sifat tidak terpuji karena dinilai sebagai wujud kesombongan dan kebohongan. Sebab, hasil kerja orang seperti ini biasanya tidak sebaik dengan yang dijanjikannya. Sementara, dapat merasa atau menggunakan perasaan adalah sifat baik karena merupakan landasan sikap tenggang rasa antar sesama.
Dalam peribahasa ini, merasa bisa dianggap sebagai sikap yang gegabah, dikarenakan merasa bisa sama saja dengan belum tentu bisa. Lebih berbaya lagi jika dari merasa bisa kemudian mengaku bisa, dan berani mengatakan bisa. Sifat seperti ini dianggap buruk. Seandainya yang bersangkutan dipercaya melaksanakan pekerjaan yang dirasanya bisa, dan ternyata gagal, apakah tidak memalukan dan merugikan semua pihak?
Bisa rumangsa berarti tahu diri, yaitu berani merasa tidak bisa dan mengakui tidak bisa. Pada sisi lain, bisa rumangsa juga berarti memiliki kesadaran yang cukup dalam mengukur diri sesuai kemampuan yang dimiliki. Dengan mengamalkan sifat seperti itu, individu yang bersangkutan akan memperoleh ketenteraman dan ketenangan hidup di lingkungannya. Ia akan dinilai sebagai orang yang jujur, tidak sombong, dan mampu menempatkan diri dengan baik di dalam masyarakat.
27. Aja Ngomong Waton
AJA NGOMONG WATON, NANGING NGOMONGO NGANGGO WATON
Artinya, aja ngomong waton (jangan asal berbicara), nanging ngomongo waton (tetapi bicaralah dengan menggunakan patokan atau alasan yang jelas).
Peribahasa tersebut merupakan ajakan untuk berbicara dengan tidak ngawur atau ngayawara. Usahakan setiap pembicaraan benar-benar memiliki landasan atau alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebab jika hanya asal bicara, bisa-bisa akan disamakan dengan “orang gila”. Peribahasa ini biasanya ditujukan kepada orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain, menganggap buruk atau salah terhadap hal-hal yang sesungguhnya tidak dimengerti atau sok tahu, menyebarkan kabar bohong.
Untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, setiap tutur kata hendanya perlu dijaga, dicermati, dan diatur sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan rasa tidak senang dari lawan bicara kita. Jika ada masalah, jangan dibesar-besarkan apalagi belum jelas duduk perkaranya. Setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulut kita akan didengarkan dan diperhatikan orang lain. Lewat tutur kata itulah, seseorang dapat memperoleh kepercayaan. Demikian juga sebaliknya, lewat tutur kata pula, orang dapat kehilangan kepercayaan. Pun juga menyebabkan pertengkaran, perkelahian, dan kekacauan di dunia. Sumber.
Artikel terkait : Memahami Folosofi Leluhur Jawa
0 comments:
Posting Komentar