Majapahit. Meskipun tidak banyak, kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru memiliki data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap siapa dan bagaimana kehidupan orang Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka(929 M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata.
Prasasti kedua yang ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma.
Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah penanjakan yang termasuk Desa Wonokitri,Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327 Saka atau 1407 M (1405 M?). Prasasti ini menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila atau suci.
Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman, yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara Hyang Wekas in Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada.
Nama Walandhit disebut juga oleh Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit dalam Kakawin Nagarakertagama. Walandhit adalah nama sebuah tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Siwa. Kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan salah satu mandala yang dipimpin oleh seorang dewa guru.
Dewa guru adalah seorang siddhapandita (pendeta yang sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala. Sebenarnya mandala adalah tempat tinggal pendeta di hutan atau di tempat yang sangat jauh dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup mengasingkan diri.
Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama mereka tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak Hindu-Budha.
Kemungkinan kedua, orang Walandhit dengan suka cita menerima para pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak, terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh tentara Demak pada abad ke-16 M.
Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut oleh tentara Demak.
Hubungan antara orang Walandhit dengan agama Hindu bukan hanya terlihat dari prasasti kuna yang telah ditemukan, tetapi juga dari naskah-naskah kuna yang ditulis pada zaman Majaphit. Dalam naskah Tantri Kamandaka, misalnya, segara wedhi atau laut pasir digambarkan sebagai jalan lintasan arwah manusia yang harus disucikan dulu sebelum naik ke kahyangan. Proses penyucian arwah tersebut juga digambarkan dalam mantera upacara entas-entas, sebuah upacara adat Tengger. Dalam upacara adat ini api penyucian dari Dewa Siwa dan Dewi Uma digunakan untuk menyucikan arwah manusia agar sang arwah dapat naik ke kahyangan.
Sebelum diberangkatkan, sang arwah ditempatkan di dalam sebuah kuali maron yang merupakan simbolisasi dari kawah Gunung Bromo.
Perhatian dan ketertarikan kepada kekhasan peribadatan orang Walandhit, yang kemudian disebut orang Tengger, bukan hanya terjadi pada zaman Majapahit saja, melainkan juga pada zaman penjajahan, dan bahkan sampai pada zaman internet sekarang ini. Tentang sejak kapan komunitas yang tinggal di kawasan Bromo- Tegger-Semeru tersebut disebut orang Tengger, belum ada keterangan yang jelas.
Orang Tengger sendiri sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari paduan dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG) dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di dataran tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger juga menegaskan bahwa kata Tengger mengacu kepada pengertian Tengering Budi Luhur (Tanda Keluhuran Budi Pekerti).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa daya tarik Tengger bukan hanya terletak pada pemandangan alamnya yang mempesona saja, melainkan juga kekhasan status keagamaan dan adat-istiadatnya. Hal ini bukan hanya dikemukakan oleh para pemerhati asing, melainkan juga pemerhati dalam negeri, sejak zaman Majapahit sampai dengan zaman Keraton Surakarta yang telah memeluk agama Islam. Sampai sekarang, kekhasan itu masih mampu menyedot perhatian orang luar Tengger, terbukti dengan ramainya kunjungan wisata pada perayaan Kasada setiap tahun.
Status keagamaan orang Tengger yang khas ini dipaparkan secara panjang lebar dalam Serat Centhini, sebuah karya tulis yang penulisannya diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, yang kemudian setelah naik takhta bergelar Sinuhun Paku Buwana V di Surakata. Dalam Serat Centhini diceritakan pertemuan antara Raden Jayengsari yang Muslim dengan Resi Satmakayang Buda.
Pertemuan tersebut terjadi di Desa Ngadisari, desa paling puncak dikawasan Tengger yang juga paling dekat dengan Gunung Bromo. Dalam pertemuan tersebut Resi Satmaka menceritakan adat dan tata cara beragama orang Tengger dan agama-agama dewa, seperti dewa Sambo, Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, dan Kala.
Sebaliknya, Raden Jayengsari juga menceritakan tentang agama-agama yang dibawa oleh para Nabi, sejak Nabi Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Dawud, Musa, Isa sampai dengan Nabi Muhammad s.a.w.
Pada zaman penjajahan, identitas Tengger mengalami pasang surut dalam perjalanan dan perkembangannya. Sebelum paruh ke-2 abad ke-19 para pejabat Belanda dan wisatawan Eropa menulis laporan bahwa orang Tengger sangat mengenal dewa-dewa Hindu yang menjadi fokus peribadatan mereka. Akan tetapi setelah itu dewa-dewa tersebut tidak lagi memasyarakat karena pada akhir abad ke-19 daerah Tengger mulai terkena dampak revitalisasi Islam yang muncul di pemukiman muslim yang terletak di kaki pegunungan Tengger.
Keadaan semakin berubah setelah pejabat setempat menekan orang Tengger untuk berpindah agama.
Perkembangan-perkembangan tersebut menyebabkan krisis identitas pada orang Tengger dan menipisnya kepercayaan diri terhadap tradisi lokal mereka. Tradisi Tengger makin terabaikan ketika Jepang menjajah Indonesia, karena pada waktu itu hanya sedikit orang Tengger yang memiliki cukup uang untuk biaya upacara. Mulai saat itu banyak teks-teks doa Tengger yang disembunyikan dan ditemukan beberapa tahun kemudian dalam keadan rusak karena rengat dan cuaca.
Berbagai Macam Upacara Adat di Tengger
Orang Tengger kaya akan upacara adat tetapi hampir tidak memiliki produk kesenian. Upacara adat yang sampai saat ini masih diselenggarakan di wilayah Tengger adalah sebagai berikut :
1. Upacara Kasada.
Perayaan Kasada atau hari raya Kasada atau Kasodoan yang sekarang disebut Yadnya Kasada, adalah hari raya kurban orang Tengger yang diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16, bulan Kasada, yakni pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di lazuardi biru. Hari raya kurban ini merupakan pelaksanaan pesan leluhur orang Tengger yang bernama Raden Kusuma alias Kyai Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang telah merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.
Kepergian dukun Tengger ke Bromo bukan hanya untuk berdoa, melainkan juga untuk minta berkah kepada yang menjaga Gunung Bromo. Permintaan itu ditujukan kepada Sang Dewa Kusuma yang dikurbankan (dilabuh) di Kawah Bromo. Selain meminta sesuatu, dukun Tengger juga memberi sesuatu, yaitu melaksanakan amanat Raden Kusuma yang diucapkan pada masa lalu yang berbunyi sebagaiberikut:
“Dulurku sing isih urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun mesti keturutan kekarepane rika, ya keturutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.” (“Saudara-saudaraku yang masih hidup di dunia, di alam terang, kelak setiap bulan Kasada, kirimkan kepadaku hasil pertanianmu, dan makanan yang kalian makan di dunia, agar aku dapat merasakannya. Keinginanmu dan permintaanmu pasti kukabulkan”).
2. Upacara Karo.
Perayaan Karo atau hari raya Karo orang Tengger yang jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo) sangat mirip dengan perayaan Lebaran atau hari raya Fitri yang dirayakan umat Islam. Pada hari berbahagia tersebut orang Tengger saling berkunjung, baik ke rumah sanak saudara maupun tetangga, untuk memberikan ucapan selamat Karo dan bermaaf-maafan. Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih untuk dinikmati dagingnya. Bagi keluarga yang kurang mampu, pengadaan ternak yang akan disembelih dilakukan secara patungan.
Bagi orang Tengger, hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-tunggu. Perayaan yang berlangsung hampir dua minggu tersebut merupakan saat yang penuh suka cita dan pesta pora, seolah-olah orang Tengger ingin menebus seluruh kecapekan dan kejenuhan kerja seharian penuh di ladang yang telah mereka jalani selama satu tahun. Seluruh lapisan masyarakatTengger, tua-muda, besar-kecil, Hindu, Kristen, Budha maupun Islam menyatu dalam suka cita perayaan Karo.
Hari raya Karo akan makin meriah apabila hasil panen orang Tengger bagus. Mengapa orang Tengger menyelenggarakan upacara atau perayaan Karo?
Sebagian pewaris aktif tradisi Tengger dengan tegas mengatakan bahwa perayaan dan selamatan Karo merupakan hasil kesepakatan Kanjeng Nabi dan Ajisaka untuk mengenang gugurnya dua abdi yang bernama Setya atau Alif dan Satuhu atau Hana, pengikut setia kedua tokoh tersebut. Menurut mereka, makna Karo adalah nylameti wong loro “mengadakan selamatan untuk dua orang”, si Hana dan si Alif atau si Setya dan si Satuhu. Sebagian lagi mengatakan bahwa kisah kesepakatan Kanjeng Nabi dan Ajisaka tersebut hanya kisah yang dibuat-buat (Lihat Sutarto, 1997: 211-212).
3. Upacara Unan-Unan.
Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu Nirwana. Kata unan-unan berasal dari kata tuna ‘rugi’, maksudnya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama satu windu. Dalam upacara ini orang Tengger menyembelih kerbau sebagai kurban.
4. Upacara Entas-Entas.
Upacara ini dimaksudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal dunia pada hari ke-1000 agar supaya dapat masuk surga. Biaya upacara ini sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan sebagian dikurbankan.
5. Upacara Pujan Mubeng.
Upacara ini diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada hari kesembilan sesudah bulan purnama. Warga Tengger, tua-muda, besar-kecil, berkeliling desa bersama dukun mereka sambil memukul ketipung. Mereka berjalan dari batas desa bagian timur mengelilingi empat penjuru desa. Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun. Makanan yang dihidangkan berasal dari sumbangan warga desa.
6. Upacara Kelahiran.
Upacara ini merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkait. Pertama, ketika bayi yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut. Maksud upacara adalah agar bayi lahir dengan selamat dan lancar. Setelah bayi lahir dengan selamat yang bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan. Ari-ari bayi yang mereka sebut batur ‘teman’ disimpan dalam tempurung, kemudian ditaruh di sanggar. Pada hari ketujuh atau kedelapan setelah kelahiran, yang bersangkutan mengadakan upacara cuplak puser, yakni pada saat pusar telah kering dan akan lepas. Upacara ini dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran yang masih tersisa di tubuh bayi agar bayi selamat. Pada waktu diberi nama, keluarga bayi mengadakan selamatan jenang abang dan jenang putih (bubur merah dan bubur putih yang terbuat dari beras). Maksud dari upacara ini juga untuk memohon keselamatan. Upacara kekerik diadakan setelah bayi berumur 40 hari. Dalam upacara ini lidah bayi “dikerik” dengan daun rumput ilalang. Maksud dari upacara ini adalah agar kelak sang anak pandai berbicara. Rangkaian upacara kelahiran yang keenam adalah upacara among-among, yang dilaksanakan setelah bayi berusia 44 hari. Maksud dari upacara ini adalah agar bayi terbebas dari gangguan roh jahat. Bayi tersebut harus “dilindungi”, yaitu diberi mantra pada waktu ia sudah mampu membalik dirinya (tengkurap).
7. Upacara Tugel Kuncung atau tugel gombak
Diselenggarakan oleh orang Tengger ketika anak mereka berusia 4 tahun. Rambut bagian depan anak yang bersangkutan dipotong agar ia senantiasa mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa.
8. Upacara Perkawinan
Orang Tengger dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan perhitungan nasih berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati. Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus diadakan upacara ngepras, yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara dan pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun. Puncak dari upacara perkawinan adalah upacara walagara, yakni akad nikah yang dilaksanakan oleh dukun. Dalam upacara walagara dukun membawa secawan air yang dituang ke dalam prasen, diaduk dengan pengaduk yang terbuat dari janur atau daun pisang dan kemudian diberi mantra. Selanjutnya mempelai wanita mencelupkan telunjuk jarinya ke dalam air tersebut dan mengusapkannya pada tungku, pintu, serta tangan para tamu, dengan maksud agar pada tamu memberi doa restu.
9. Upacara Kematian
Diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan untuk upacara penguburan. Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian. Sebelum kuburan digali, dukun lebih dulu menyiramkan air dalam bumbung yang telah diberi mantra. Tanah yang tersiram air itulah yang digali untuk liang kubur. Mayat orang Tengger dibaringkan dengan kepala membujur ke selatan ke arah Gunung Bromo. Petang harinya keluarga yang ditinggalkan mengadakan selamatan. Orang yang telah meninggal tersebut diganti dengan boneka yang disebut bespa, terbuat dari bunga dan dedaunan. Bespa diletakkan di atas balai-balai bersama berbagai macam sajian.
10. Upacara Barikan
Diadakan setelah terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau peristiwa lain yang mempengaruhi kehidupan orang Tengger. Jika kejadian-kejadian alam tersebut memberi pertanda buruk maka lima atau tujuh hari setelah peristiwa tersebut orang Tengger mengadakan upacara barikan agar diberi keselamatan dan dapat menolak bahaya (tolak sengkala) yang bakal datang. Sebaliknya apabila kejadian-kejadian alam tersebut menurut ramalan berakibat baik, upacara barikan juga diadakan sebagai tanda terima kasih kepada Hyang Maha Agung. Dalam upacara barikan seluruh warga berkumpul dipimpin oleh kepala desa dan dukun mereka. Biaya upacara barikan ditanggung oleh seluruh warga desa.
11. Upacara Liliwet
adalah upacara untuk kesejahtaraan keluarga. Upacara ini diadakan di setiap rumah penduduk. Dalam upacara ini dukun memberi mantra seluruh bagian rumah termasuk pekarangan agar terhindar dari malapetaka. Tempat tempat yang diberi mantra adalah dapur, pintu, tamping, sigiran dan empat penjuru pekarangan. Sebelum upacara liliwet diadakan biasanya orang Tengger tidak memulai menggarap ladangnya.
Dan masih banyak lagi upacara lain sebagai produk budaya yang tak bisa diraba (intangible) yang terdapat di wilayah ini.
0 comments:
Posting Komentar