Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan
secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa
Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi
perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada
dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat
Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan
sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra.
Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai
keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya
sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus
menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari
terakhir).
Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu
Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi
keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina
negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai
inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah
sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan
itulah Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat
menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila.
Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal
Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam
agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas,
menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan
kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku,
bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam
kesatuan nusaantara raya.
Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan
bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya
satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi
pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia.
Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17
Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang
Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit
maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu
semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar
dalam menegakkan negara.
Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto
Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah
“Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan
kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan
karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya
memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa
berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang
memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak
hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak
awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat
Majhapahit yang bersifat majemuk.
Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada
masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka
baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian
disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol
(wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil
peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses
perjalanan sejarah sejak awal.
Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat
majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan
kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat
menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun
kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan
tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat.
Ketika itu
masyarakat Majhapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majhapahit;
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton,
Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan
bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan
menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas
kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya
kepada roh-roh leluhur.
Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh
roh leluhur disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam
prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut,
dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno
Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang
berpusat di Ciamis Tatar Sunda.
Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga
dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani
melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4)
pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan
pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat
dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit.
Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta
Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit
terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa
bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah
kekuasaan Majhapahit.
Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi
penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah
penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah
mengagungkan Roh Leluhur.
Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan
roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak
periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi
luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah
(rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara
global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan.
Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti
pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke
atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling
suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan
mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti,
sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan
menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan).
Gejala pendewaan terhadap raja atau kepada seseorang yang telah
meninggal merupakan akibat pembauran antara pemujaan arwah leluhur dan
Hindu-Budha masa Singhasari- Majhapahit. Nagarakertagama oleh Mpu
Prapanca mencatat pujaan tertinggi Bhre Hyang Wkas ing Sukha (Hayam
Wuruk) adalah Sanghiyang Acalapati (Raja Gunung = Roh yang bersemayam
di Gunung)
Kedudukan arca dewa sebagai raja pada hakekatnya sama dengan
kedudukan menhir dalam budaya megalitik masa prasejarah. Konsep menhir
didirikan sebagai tanda jasa kepala suku yang menyelenggarakan pesta
jasa, feast of merit, untuk dinikmati masyarakatnya. Setelah kepala
suku tersebut meninggal, menhir, yang semula sebagai simbol jasa ketika
masih hidup kemudian berubah menjadi simbol (lambang) kepala suku. Roh
kepala suku dianggap sebagai pelindung desa dan pembimbing masyarakat
diundang turun masuk menhir melalui upacara tertentu, maka masyarakat
langsung berhubungan dengan Roh Leluhurnya.
Faktor pendorong utama kebangkitan kepercayaan asli masa Majhapahit
adalah situasi sosial politik yang kian goncang akibat inovasi Islam.
Saat yang sama penganut kepercayaan pribumi tetap menjalankan
eksistensinya bahkan kian merasuk teguh menjiwai konsep Hindu-Budha.
Maka serentak hadir gerakan millenarisme, gerakan menyelamatkan dan
kebangkitan, yakni mengembalikan kepercayaan Asli pribumi dimana gunung
merupakan tempat bersemayamnya arwah nenek moyang atau nenek moyang
yang didewakan. Yang pada hakekatnya adalah Hiyang, Sang Rumuhun,
Leluhur.
Gejala millenarisme tersebut dihubungkan dengan dipahatkannya
relief-relief cerita ruwatan atau kaleupasan seperti yang ter-cermin
pada bangunan-banguan suci yang mengacu kepada karyasastra keagamaan
bertemakan konsep dewa-dewa asli, Pribumi. Diantaranya cerita
Suddhamala Bhimaruci, Bubuksah Gagang Aking, Tantu Pangglaran.
Gunung Pananggungan, Gunung Arjuna,dan Gunung Tambakwatu (Pasuruan)
adalah saksi kehadiran gejala millenarisme “kebangkitan” unsur
kepercayaan asli dengan corak dan gaya seni ciri Majhapahit akhir yang
sangat jauh berbeda dengan Hindu-Budha. Ciri kesenian asli lebih nampak
alami, pemahatan arca-arca yang tidak proporsional, hiasan-hiasan
berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota mata bulat tanpa kain,
membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk, perut dan pantat besar.
Penggarapan arca dengan ragam hias yang tidak proporsional sebenarnya
adalah elemen-elemen naturalis yang asli Pribumi.
Gejala kesengajaan dilatari konsep kepercayaan asli, mengutamakan
simbolis daripada ketepatan susunan anatomisnya, sebab lebih dilatari
dan ditujukan langsung kepada nilai spiritual dan magis dari pada nilai
keindahannya. Senarai pemikiran personifikasi nenek moyang yang telah
meninggal dunia sehingga diupayakan berkesan statis sesuai kondisi
seseorang yang telah meninggal, yang bersemayam di puncak gunung.
Gejala mesianik memuja yang dianggap akan atau mampu menyelamatkan
dunia adalah untuk memperoleh kalepasan, karenanya upacara ruwatan
menjadi sangat penting. Gejala mesianik yang disebut milenarisme adalah
sejajar dengan ajaran para Resi yang sejak awal telah ada dan merupakan
kelompok spiritual dengan memilih kehidupan di dalam lingkungan yang
sunyi-terpencil. Semacam padepokan dengan menampilkan tokoh Bhima
sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan.
Bima di sini dihubungkan dengan “Pahlawan Keagamaan” berkenaan
dengan unsur bersatunya kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha
Suksma. Selaras peristiwa yang dialami Bhima tatkala keluar dari
dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada
saudara-saudaranya. Keagamaan Majhapahit lebih mempertegas hubungan
konvensional dan kepercayaan lingkungan alam, yang sesungguhnya adalah
representasi mental yang pernah berlaku sejak awal dengan fokus utama
keyakinan kepada nenek moyang yang disebut leluhur, rumuhun atau Sang
Hyang.
0 comments:
Posting Komentar