Sejarah Berdirinya Majapahit

Lambang Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah Kerajaan yang terakhir dan sekaligus yang terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Didahului oleh kerajaan Sriwijaya, yang beribukotakan Palembang di pulau Sumatra. Kerajaan ini dirintis oleh Raden Wijaya yang merupakan keturunan keempat dari Ken Arok dan Ken Dedes.

Sebelum kerajaan Majapahit lahir, telah berdiri terlebih dahulu pada tahun 1222Masehi kerajaan Singosari yang pendirinya adalah Ken Arok yang berpusat di. Malang (Tumapel).

Penelusuran terhadap lahirnya kerajaan Majapahit tidak terlepas dari keberadaan kerajaan Singosari Tumapel. Begitupun kalau kita menelusuri awal bersatunya nusantara, tidak bisa terlepas dari kiprah Majapahit. Artinya keberadaan Singosari, Majapahit, dan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak terpisahkan satu sama lain.

Dalam sejarah bangsa Indonesia Majapahit memanglah ‘hanya’ satu di antara banyak kerajaan yang pernah berkembang di dalam tubuh bangsa persatuan yang kini disebut “Indonesia” ini. Walaupun demikian sejarahnya patut disimak dengan cermat karena kelebihannya: cakupan teritorialnya yang paling ekstensif, durasinya yang cukup panjang, serta pancapaian-pencapaian budayanya yang cukup bermakna.

Diawali dengan rintisan di masa Singhasari, yaitu masa Pra Majapahit yang mempunyai kesinambungan dinastik dengan masa Majapahit, Perluasan wilayah dilanjutkan dengan mencakup daerah-daerah yang lebih luas. Pada masa Singhasari negara-negara yang disatukan di bawah koordinasi kewenangan Singhasari adalah: Madhura, Lamajang, Kadiri, Wurawan, Morono, Hring, dan Lwa, semua mengacu pada daerah-daerah di pulau Jawa (timur ) dan Madura.

Untuk lebih jelasnya sebelum mengerti sejarah Majapahit akan diuraikan terlebih dahulu sejarah berdirinya kerajaan Singhasari yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Majapahit.

Sejarah berdirinya Majapahit dimulai dari Perintah dari Raja Singhasari yaitu Kertanagara yang memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di desa Memeling. Raden Wijaya di desa Mameling berhasil menumpas musuh.

Candi Waringin Lawang
diperkirakan sebagai
Gapura Majapahit
Dengan puas tentara Singosari kembali menuju ibukota, Betapa terkejutnya mereka ketika sampai di perbatasan sorak sorai tentara musuh yang telah berhasil merusak keraton Singhasari. Raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan, mereka dengan gagah berani menyerbu kedalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang begitu banyak maka usaha tersebut tidak berhasil.

Raden Wijaya kemudian dikepung oleh patih Daha Kebo Mundarang sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Raden wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana lari melintasi sawah yang baru habis dibajak. Ketika hampir tertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancal tanah bajakan sehingga jatuh didada dan dahi ki Patih ,Raden Wijaya pun berhasil lolos dari kejaran musuh.

Wilayah Kekuasaan Majapahit

Setelah beristirahat sejenak Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sehelai dan diperintahkan ngamuk, Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta pora Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk kedalam keraton Singhasari.

Putri Kertanegara yang bungsu yaitu Gayatri ditawan oleh muduh dan dibawa ke Kediri sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuaneswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasehat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama Putri dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar kota menuju arah utara karena tidak ada gunanya melanjutkan perang yang pasti akan membawa kekalahan karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar.

Candi Kedaton Reruntuhan Istana Majapahit

Masih ada kira kira 600 orang pengikut Raden Wijaya. Paginya ia bertemu lagi dengan musuh, banyak prajurit yang putus asa dan meninggalkannya, hingga pengikutnya tinggal sedikit. Maka Wijaya bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk minta bantuan kepada Akuwu Terung, Wuru Agraja yang diangkat sebagai akuwu oleh Mendiang Sri Kertanegara., dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di sebelah timur dan timur laut Terung.

Maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui Kulawan yang telah dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya.

Arca Pertapa Hindu Jaman Kerajaan Majapahit

Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju Kembangsri (Bangsri), di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas mencebur ke Bengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini banyak prajuritnya yang tewas terkena tumbak musuh. Banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri.

Sesampainya di seberang sungai pengikut Wijaya tinggal duabelas orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat Kudadu. Disana Raden Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa muda dan nasi putih. Raden wijaya sangat terharu atas sambutan tersebut . Gajah Pagon yang menderita luka cukup parah di pahanya akhirnya ditinggal di Dusun pandak, disembunyikan di tengah ladang.

Raden Wijaya kemudian melanjutkan perjalanan Ke Pulau Madura diantar sampai di daerah Rembang. Dalam Pararaton dusun Pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit terkenal dengan Piagam Kudadu sebagai ungkapan terima kasih Raden Wijaya kepada ketua dusun kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah sebelum melanjukan perjalanan ke Madura.

Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singhasari yang ditempatkan di didaerah tersebut.. Raden Wijaya Tiba di Madura Setibanya di Pulau Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja.

Sikap Arya Wiraraja sebagai Bupati Singhasari tidak berubah meskipun tahu Kerajaan Singhasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu sehingga menjanjikan apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut Jayakatwang maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja. Arya Wiraraja sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut.

Prajurit Majapahit

Arya Wiraraja juga memberi nasehat agar Raden Wijaya menyerah dan mengabdi kepada Prabu Jayakatwang di Kediri dan selama tinggal di istana, Raden Wijaya diminta menyelidiki sampai dimana kekuatan tentara Kadiri. Setelah itu Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Arya Wiraraja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya.

Buah Maja

Konon, buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diijinkan membuka hutan Tarik Demikianlah Arya Wiraraja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang.

Raden Wijaya kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Arya Wiraraja sampai di daerah Terung dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh patih kadiri yaitu Sagara Winotan dan Yangkung Angilo di daerah Jung Biru. Adapun Tribhuwaneswari yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura dititipkan ke pada Arya Wiraraja.

Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan. Setelah cukup lama mengabdi di Kadiri Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah tarik (daerah Sidoarjo) menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga. Daerah Tarik terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah Timur Mojokerto.

Raden Wijaya Segera mengirim Wirondaya ke Sumenep Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Arya Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka Hutan tarik Dalam waktu singkat hutan tarik berhasil dibuka dan orang Madura yang membantu pembukaan hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta.

Konon pada saat itu, seorang tentara yang haus mencoba memakan buah maja yang banyak terdapat pada tempat itu dan menemukan bahwa ternyata rasanya pahit sehingga daerah itu dinamai demikian. Wilwa artinya buah Maja, Tikta artinya pahit. Setelah Hutan Tarik berhasil dibuka, Raden Wijaya kemudian minta izin kepada Prabu Jayakatwang untuk menengok daerah tersebut.

Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal didaerah tersebut. Demikianlah akhirnya Raden wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari mertamasa. Pada hari ke tujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan tinggal di Pesanggrahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji Wijayakrama memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai berikut :

  • Kota yang dibangun menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari Kediri sampai ke laut.
  • Sungai kecil yang mengalir dari selatan yaitu kali mas yang pada jaman tersebut disebut kali Kancana.
  • Perahu dagang hilir mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura. · Orang Madura mengalir tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian utara yang dinamakan Wirasabha. ·
  • Disebelah tenggara kota adalah jembatan.
  • Daerah yang dibuka sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang, pinang , kelapa dan pisang ·
  • Telah tersedia tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang artinya pintu kedua.
Raden Wijaya pandai mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah Tarik, orang orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah Majaphit. Di desa ini Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel.

Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun kurang menyukai Raja Jayakatwang. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke sumenep Madura telah sampai. Semua pesan Raden Wijaya telah disampaikan kepada Arya Wiraraja.

Ketika mereka akan kembali putra Arya Wiraraja yang bertempat di dusun Tanjung di sebelah Barat Madura dikirim ke Majapahit membawa pesan ayahnya bahwa Arya Wiraraja belum bisa datang ke Majapahit dan Arya Wiraraja akan secepatnya mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar. Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal akhirnya pulang ke majapahit mengiringi Putri Tribhuwaneswari dan Putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe.

Nama Ranggalawe adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga.

Keesokan harinya Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya menyusun siasat untuk menyerang kerajaan kediri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda kuda lainnya untuk tunggangan para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura.

Raden Wijaya telah lama meninggalkan kediri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Prabu Jayakatwang yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke Kediri karena Prabu Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut. Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah Ranggalawe dengan kuda kuda perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas Kapal.

Arca Raden Wijaya

Segara Wionotan terheran heran melihatnya. Untuk menghindari kecurigaan dari utusan kediri tersebut, Raden wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Prabu Jayakatwang. Segara Winotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang orang Madura dalam melaksanakan perburuan. Namun perkataan Segara Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga menyahut “ apa bedanya tindak landuk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan mengetahui kemampuan orang Madura “. Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan lantang Ranggalawe.

Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi perselisihan diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana Ken Sora kemudian mengajak Ranggalawe untuk mengawasi penurunan kuda kuda dari kapal. Segara Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawe segera menanyakan siapakan gerangan orang tersebut.

Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah Kemenakan Ken Sora dari Tanjung sebelah barat Madura. Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil, karena itu janganlah terlalu diambil hati. Segera Winota kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Segara Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan ke hadapan Prabu Jayakatwang persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan kota.

Raden Wijaya sangat pintar untuk menerima tamunya sedemikian rupa sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Raden Wijaya. Arya Wiraraja telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit diiringi Bala tentaranya dari Madura. Kedatangannya dengan perahu sampai di Canggu disambut oleh Raden Wijaya dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah dipersiapkan untuknya.

Arya Wiraraja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel akan diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menundukkan kerajaan Kediri dibawah pimpinan Prabu Jayakatwang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan Waisaka.

Dalam menyusun siasat untuk menyerang Kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan majapahit dipecah menjadi 2 yaitu ·
  • Arya Wiraraja memimpin pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
  • Raden Wijaya memimpin pasukan yang melalui Singhasari. Ranggalawe akan ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebeg.
Dalam Kidung Harsa Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan Kerajaan Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kediri.

Oleh karena itu Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke Prabu Jayakatwang untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri yaitu putri Prabu Kertanagara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak dikabulkan maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang Kerajaan Kediri. Ken Sora, Gajah Pagon dan Lembu Peteng lebih cendrung untuk memberontak begitu saja, karena bukan tidak mungkin prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya tersebut.

Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat Menteri Menteri kerajaan Daha sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh Podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha, Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena pandapat yang berbeda beda tersebut akhirnya mereka semua minta pendapat dari Arya Wiraraja, karena telah terbukti Arya Wiraraja pandai memberi nasehat kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasehat agar Raden Wijaya bersabar menunggu kedatangan Pasukan dari Tartar sebulan lagi.

Pasukan Berkuda Mongol

Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala. Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal.

Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.

Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan. Kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar. Untuk mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar ke Jawa kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku W.P.Groeneveldt. Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini.

Armada tugas berkekuatan 1000 kapal dengan perbekalan cukup untuk satu tahun. Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kubilai Khan untuk menghimpun pasukan berkekuatan 20.000 dari propinsi-propinsi Fukien, Kiang-si dan Hukuang. Tiga propinsi ini berada di Cina Selatan. Fukien berbatasan dengan laut selat Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan propinsi Fukien bernama Chuan-chau dari mana armada diberangkatkan.

Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga propinsi adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Shih-pi dan Ike Mese dan Kau Hsing sebagai pembantu-pembantunya. Dari namanya dapat diperkirakan, Shih-pi dan Ike Mese adalah berasal dari Mongolia (Tartar asli) sedang Kau Hsing adalah Cina. Pasukan Tartar yang menyerbu ke Eropa terkenal karena pasukan kudanya.

Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga propinsi di atas disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Ching-yuan (sekarang Ning-po) di sebelah selatan Syang-hai. Shih-pi dan Ike Mese lewat daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Chuan-chou, sedang Kau Hsing mengangkut perbekalan dengan kapal.

Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul di Ning-po ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda (kavaleri) yang disebut dalam laporan Shih-pi berkekuatan 5000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang Tartar. Maka dapat diperkirakan, expedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah awak kapal yang 1000 buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang maka seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut.

Jadi seluruh expedisi ini berkekuatan 1000 kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5000 kuda. Sesampainya di Tuban expedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dipimpin oleh Kau Hsing terdiri atas kavaleri dan infanteri sedang seorang “Commander of Ten Thousand” (Pangleksa) meminpin pasukan pelopor.

Shih-pi dengan seperdua bagian lainnya menuju Ujunggaluh lewat laut membawa perbekalan armada dipimpin oleh Ike Mese. Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata berat, pelempar peluru (batu?). Mengingat keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa maka senjata berat ini akan selalu disiapkan di kapal saja.

Bagian terbesar dari expedisi ini adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan expedisi terbagi atas kesatuan kavaleri 5000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000 orang dan kesatuan bantuan kira-kira 5000 orang yang dapat dipakai sebagai bantuan cadangan. Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar.

Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh. Penyerangan Kerajaan Kadiri Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi.

Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari. Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja

Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol. Ike Mese mengetahui kalau Kertanegara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya.

Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa Majapahit. Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama.

Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang. Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880).

Menurut cerita Pararaton Permohonan Arya Wiraraja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri dari Tumapel dan seorang Putri dari Kerajaan Kediri yaitu Ratna Kesari pada hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman tentara tersebut. Tanpa permohonan bantuan dan janji tersebut tentara Tartar pasti datang ke Jawa untuk menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama Meng ki oleh Prabu Kertanegara.

Di muka telah diuraikan bagaimana watak Kaisar Kubilai Khan yang sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya, namun hal tersebut berbenturan dengan Prabu kertanagara yang sadar akan keagungannya sebagai raja yang berdaulat sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan kaisar Kubilai Khan. Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat.

Kubilai Khan
Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari.

Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang. Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji. Berita pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di kerajaan Kediri, berita pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur Tegal bobot sari dipimpin oleh Arya Wiraraja.

Berita tersebut menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri, Segara Winotan dituduh berkhianat kepada raja karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya, segala kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan keris oleh Kebo Rubuh yang siap ditikamkan kepada Segara Wonotan tetapi dengan cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang. Pada saat itu datang akuwu di Tuban yang memberikan laporan bahwa tentara Tartar telah mendarat di daerah tersebut.

Mereka merusak Kota Tuban, rakyat banyak yang lari mengungsi. Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar benar dalam keadaan terancam. Pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan datang. Untuk membendung tentara Tartar dan majapahit akhirnya diputuskan tentara Kediri akan dibagi dalam 3 pertahanan yaitu :

Mahisa Antaka dan Bowong memimpin pertahanan di bagian Utara , Prabu Jayakatwang ikut dalam pertahanan ini.Sagara Winotan dan Senapati Rangga Janur memimpin pertahanan di bagian Timur.Kebo Mudarang dan senapati Pangelet memimpin pertahaan bagian selatanPrabu Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya sehingga memutuskan menyerang musuh yang sedang bergerak. Tentara Kadiri menyerang Majapahit dari tiga jurusan yaitu fron utara dipimpin oleh para adipati dan anjuru, fron selatan dipimpin oleh Menteri Araraman dan fron timur dipimpin oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Majapahit. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol.

Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Kediri di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.

Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kadiri.

Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Kadiri. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri Ike Mese menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang.

Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII Segara Winotan berhadapan dengan Ranggalawe di pertahanan bagian Timur. Ranggalawe mengendarai kuda Anda Wesi berhasil melompat kedalam kereta Segara Winotan.

Dalam pertempuran diatas kereta tersebut Ranggalawe berhasil memotong leher Segara Winotan sampai tewas. Di bagian selatan Ken Sora berhasil menangkap kebo Mundarang di lurah Trini Panti. Kebo Mundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak perempuannya kepada Ken Sora namun Ken Sora tidak sudi mendengarnya.

Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Kadiri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit.

Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di benteng pertahan ujung galuh.

Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Ujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Setelah Raja Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri Gayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit.

Agaknya timbul perselisihan antara panglima Cina ini dengan panglima-panglima Tartar. Shih-pi dan Ike Mese, karena kedua orang panglima ini telah mengijinkan Wijaya kembali ke Majapahit. Kau Hsing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan Kediri dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya.

Majapahit menghalau Tentara Tartar Sebelum dimulai uraian tentang gerakan-gerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran mengenai keadaan yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Majapahit maupun dari Tartar. Keuntungan Majapahit adalah, bahwa prajurit Majapahit lebih mengenal keadaan medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing.

Medan berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya masih lunak, bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai masih terdapat banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apa lagi oleh suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak antara Pacekan sampai Kediri.

Dalam kronik Cina laporan Shih-pi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang-lebih 300 li dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri adalah kira-kira 130 kilometer lewat jalan berbelok-belok, kalau ditarik garis lempang dari Surabaya sampai Kediri kira-kira jarak itu adalah kurang-lebih 100 kilometer.

Jarak Majapahit-Kediri yang kira-kira tujuhpuluh kilometer itu oleh kesatuan Tartar ditempuh dalam waktu 4 hari (tanggal 15 sampai 19) berjalan. Jadi tiap harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 kilometer. Kalau sehari selama 2 hari masih terang mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam kiranya dapat diselesaikan 2 km.

Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan, betapa beratnya keadaan medan pada waktu itu. Kronik Cina menyebut, Wijaya pada hari ke dua bulan ke empat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya disertai oleh dua orang perwira Tartar dan 200 orang prajurit untuk menyiapkan persembahan bagi kaisar Tartar, jadi 13 hari setelah Kediri menyerah.

Tanggal 9 Mei ia berangkat, sampai di Majapahit tanggal 13 Mei. Dengan diam-diam Wijaya menyiapkan pasukan dan rakyatnya. Dalam Kronik cina disebutkan bahwa Kau Hsing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan sekembalinya ke Kediri baru mengetahui, bahwa Wijaya telah berangkat dengan ijin Shih-pi dan Ike Mese. Tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Kau Hsing, agaknya timbullah perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Kau Hsing berada di pegunungan selama dua minggu lebih, kita buat 16 hari. Maka ia diperkirakan kembali pada tanggal 14 Mei.

Setelah mengumpulkan divisinya ia segera mengejar Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan. Didalam Istana Majapahit sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap pasukan Tartar. Dalam Kidung Wijayakrama dikisahkan bagaimana sikap yang harus diambil jika tentara Tartar menagih janji 2 orang putri Tumapel sebagai hadiah kepada Kaisar Tartar.

Ketika Arya Wiaraja menanyakan hal tersebut semuanya terdiam, tidak berani menjawab. Ken Sora mengemukakan pendapat bahwa tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawe bersuara lantang sesuai dengan wataknya “ Jangan takut sang prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan kami bersedia mati sebagai pahlawan.

Jika paduka takut berperang tidaklah masih layak hidup di dunia. Ucapan Ranggalawe yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang hadir, semua setuju dan bersedia mati untuk sang Raja. Akhirnya utusan Tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan menyerahkan surat untuk menagih janji. Setelah surat dibaca Ken Sora memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah disepakati tersebut.

Namun demikian putri Singhasari tersebut sangat miris kalau melihat senjata karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah baik baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci dan beritahukan kepada pasukan pengawal yang akan menjemput tuan Putri untuk tidak membawa senjata. Utusan kemudian kembali membawa pesan Ken Sora kepada kepala Pasukan. 300 orang Tartar kemudian datang menjemput tuan Putri, para pengawal dibawa masuk ke balai panjang untuk di jamu, para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja kedalam istana.

Ketika mereka sedang berpesta dengan serta merta pasukan Majapahit menyerang mereka. Banyak diantara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan. Pada tanggal 19 April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota Kediri telah dikepung, sambil menangkis serangan dari arah selatan mereka bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya. Namun dari arah utarapun diserang juga sehingga tentara Tartar yang terdesak kemudian berbelok kearah barat .

Pasukan Tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya. Betapa hebatnya serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan, bahwa Shih-pi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah sepanjang jalan antara Kediri dan Ujunggaluh benar-benar dikuasai oleh pasukan dan rakyat Desa Majapahit. Shih-pi yang meninggalkan Kediri beberapa hari kemudian dan terputus dari pasukan yang lain terpaksa harus dengan bertempur membuka jalan menuju Pacekan dan Ujunggaluh yang dicapainya dengan susah-payah.

Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai ia harus bertempur sepanjang jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3000 orang tewas dalam pertempuran ini. Ini dapat dibayangkan, bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Shih-pi terpaksa harus menelan kekalahan. Kalau Kau Hsing yang memimpin divisi infanteri dengan pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka pasukan berkuda Tartar yang berada dalam devisi Shih-pi merupakan makanan empuk bagi pasukan panah Majapahit, belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk rawa-rawa maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi anak panah Majapahit.

Tiga ribu orang yang tewas ini kira-kira sabagian besar adalah dari kavaleri. Shih-pi rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal Bobot Sari. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia.

Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya. Expedisi Tartar meninggalkan Pulau Jawa.

Setelah para panglima kembali berkumpul di Ujunggaluh, maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja, karena tugas menghukum raja Jawa telah selesai, dan tidak ada gunanya untuk meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan medan, mereka dapat terrpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai meniup ke Barat (angin timur) dengan tetap.

Selama kira-kira tiga bulan. Untuk bisa cepat sampai di Cina mereka harus segera berangkat, kalau mereka tidak ingin menjumpai rintangan berupa taifun atau angin yang tidak menentu. Maka mereka dapat sampai di Chuang Chou setelah 68 hari meninggalkan Jawa. Juga kemungkinan kejangkitan wabah mereka perhitungkan. Kalau mereka lebih lama berada di rawa-rawa di muara sungai ini, dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan oleh malaria dan penyakit lain.

Maka diputuskan lebih baik kembali daripada menderita lebih banyak kerugian, untuk menghindari kegagalan total, karena tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar.

Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Kadiri berhasil dihancurkan.

Demikianlah tentara tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu banyak tentaranya akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak. Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya.

Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.

Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.

Tentara Tartar meninggalkan jawa setelah diserang oleh tentara Majapahit Setelah kekalahan tentara mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kubilai Khan tidak mengirimkan pasukan lagi ke AsiaTenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan sedang konsentrasi di dalam Negeri termasuk membangun ibukota khanbalik. pembangunan ibukota Khan balik ini yang membuat Mongol menjadi berunbah ada yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara.

Pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai. Kublai Khan senang dan tidak lagi menuntut raja Jawa datang ke Beijing. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara Tartar.

Raden Wijaya kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit.

RAJA RAJA MAJAPAHIT

Klik untuk memperbesar
Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.

Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.


  1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
  2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
  3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
  4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
  5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
  6. Suhita (1429 - 1447)
  7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
  8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
  9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
  10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
  11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
  12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
  13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok. Sumber.

Bookmark and Share

0 comments:

Posting Komentar