Mistik Kejawen


"Urip ing ngalam dunya, ora liya mung pinangka kanggo netepi titahing Gusti”

PUCUNG (Sembah Jiwa/Hakekat)

33.
Ngelmu iku
Kalakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budaya pangekese dur angkara

Ilmu (hakekat) itu diraih dengan cara menghayatinya dalam setiap perbuatan, dimulai dengan kemauan.
Artinya, kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama,
Teguh membudi daya Menaklukkan semua angkara

34
Angkara gung
Neng angga anggung gumulung
Gegolonganira
Triloka lekeri kongsi
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

Nafsu angkara yang besar
ada di dalam diri, kuat menggumpal,
menjangkau hingga tiga zaman,
jika dibiarkan berkembang akan
berubah menjadi gangguan.

35
Beda lamun kang wus sengsem
Reh ngasamun
Semune ngaksama
Sasamane bangsa sisip
Sarwa sareh saking mardi martatama

Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai,
Watak dan perilaku memaafkan pada sesama,
Selalu sabar berusaha menyejukkan suasana,

36
Taman limut
Durgameng tyas kang weh limput
Karem ing karamat
Karana karoban ing sih
Sihing sukma ngrebda saardi pengira

Dalam kegelapan.
Angkara dalam hati yang menghalangi,
Larut dalam kesakralan hidup,
Karena temggelam dalam samodra kasih sayang,
kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung

37
Yeku patut tinulat tulat tinurut
Sapituduhira,
Aja kaya jaman mangkin
Keh pra mudha mundhi diri
Rapal makna

Itulah yang pantas ditiru,
contoh yang patut diikuti
seperti semua nasehatku.
Jangan seperti zaman nanti
Banyak anak muda yang menyombongkan diri
dengan hafalan ayat,

38
Durung becus kesusu selak besus
Amaknani rapal
Kaya sayid weton mesir
Pendhak pendhak angendhak
Gunaning jalma

Belum mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir,
Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.

39
Kang kadyeku
Kalebu wong ngaku aku
akale alangka
Elok Jawane denmohi
Paksa langkah ngangkah met
Kawruh ing Mekah

Yang seperti itu,
termasuk orang mengaku-aku.
(padahal) Kemampuan akalnya dangkal,
Keindahan ilmu Jawa malah ditolak.
Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di mekah,

40
Nora weruh
rosing rasa kang rinuruh
lumeketing angga
anggere padha marsudi
kana kene kaanane nora beda

Tidak memahami hakekat ilmu yang dicari,
sebenarnya ada di dalam diri.
Asal mau berusaha,
sana sini (ilmunya) tidak berbeda,

41
Uger lugu
Den ta mrih pralebdeng kalbu
Yen kabul kabuka
Ing drajat kajating urip
Kaya kang wus winahya sekar srinata

Asal tidak banyak tingkah,
agar supaya merasuk ke dalam sanubari.
Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.
Seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).

42
Basa ngelmu
Mupakate lan panemune
Pasahe lan tapa
Yen satriya tanah Jawi
Kuna kuna kang ginilut tripakara

Yang namanya ilmu,
dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.
Dapat dicapai dengan usaha yang gigih.
Bagi satria tanah Jawa,
dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;

43
Lila lamun kelangan nora gegetun
Trima yen ketaman
Sakserik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara

Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal,
Sabar jika hati disakiti sesama,
Ketiga ; lapang dada sambil berserah diri pada Tuhan.

44
Bathara gung
Inguger graning jajantung
Jenek Hyang wisesa
Sana pasenedan suci
Nora kaya si mudha mudhar angkara Tuhan Maha Agung.

Di letakkan dalam setiap hela nafas.
Menyatu dengan Yang Mahakuasa,
Teguh mensucikan diri,
Tidak seperti yang muda,
Mengumbar nafsu angkara.

45
Nora uwus
Kareme anguwus uwus
Uwose tan ana
Mung janjine muring muring
Kaya buta buteng betah anganiaya

Tidak henti hentinya gemar mencaci maki.
Tanpa ada isinya, kerjaannya marah-marah
seperti raksasa; bodoh,
mudah marah dan menganiaya sesama.

46
Sakeh luput
Ing angga tansah linimput
Linimpet ing sabda
Narka tan ana udani
Lumuh ala ardane ginawa gada

Semua kesalahan dalam diri selalu ditutupi,
Penuh basa-basi mengira tak ada orang yang mengetahui,
Katanya enggan berbuat jahat,
padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.

47
Durung punjul
Ing kawruh kaselak jujul
Kaseselan hawa
Cupet kapepetan pamrih
tangeh nedya anggambuh
mring Hyang Wisesa

Belum cakap ilmu.
Buru-buru ingin dianggap pandai.
Tercemar nafsu selalu merasa kurang,
dan tertutup oleh pamrih,
sulit untuk manunggal pada Yang Mahakuasa.

——————————————————————-

Gejolak Pengembaraan Sukma

Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran rasio (akal budi atau cipta) yang ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran batin meliputi; kesadaran jiwa atau sukma, dan kesadaran rahsa (rasa). Tidak hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa). Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai makhluk ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan harmonisasi dan sinergi antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta, antara jagad alit dengan jagad ageng, antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) atau microcosmos dengan jagad ageng (alam semesta) atau macrocosmos.

Pergaulan Manusia Dengan Alam

Desa mawa cara, negara mawa tata. Setiap desa memiliki tata cara atau tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda. Setiap negara memiliki aturan dan undang-undang yang berbeda-beda pula. Setiap tata cara, tradisi, budaya, undang-undang tentu akan dipengaruhi oleh pola interaksi antara masyarakat dengan alam sekitarnya. Misalnya masyarakat Arab sejak pra Islam terutama wanita sudah mengenakan burqa atau kain penutup wajah dan kepala. 

Bentuk mode pakaiannya pun seperti jubah panjang menutup seluruh tubuh. Hal itu disebabkan oleh kondisi alam yang teramat panas di siang hari, dingin di waktu malam hari, dan sering terjadi badai gurun. Pakaian model demikian tentunya akan melindungi tubuh dari keganasan alam sekitarnya. Demikian pula masyarakat Afghan, India, Pakistan, walaupun memiliki latar belakang agama yang berbeda-beda namun mereka masih satu rumpun yang memiliki akar kebudayaan yang sama. Lihat saja model pakaiannya hampir memiliki kesamaan. Semua itu pada intinya, bahwa tradisi dan budaya merupakan proses interaksi manusia dengan alam. 

Sehingga terjadi penyeimbangan atau harmonisasi antara manusia dengan alam sekitarnya. Bahkan karakter alam akan sangat berpengaruh terhadap karakter masyarakatnya. Misalnya masyarakat Sunda yang ramah, andap asor, terbuka, lunak, namun juga cenderung kurang gigih, semua itu dipengaruhi oleh keadaan alam yang subur, cukup air, mudah bercocok tanam, mudah mencari mata pencaharian. Gunung-gunung dan pemandangan alamnya yang menakjubkan mempengaruhi nilai seni dan budayanya pula. Coba perhatikan tiupan seruling Sunda dengan nada-nadanya yang indah meliuk-liuk, merdu dan syahdu menyayat hati. 

Seolah mengikuti lekuk-liuk kontur pegunungan nan indah dan syahdu. Perhatikan pula logat bahasanya yang mesra mendayu, seolah mengikuti irama alam sekitarnya. Lain halnya dengan masyarakat Madura di wilayah bangkalan. Kondisi alam yang kering dan tanah yang sulit untuk bercocok tanam, menyebabkan gaya hidup yang serba terbatas. Cara bermukim berkelompok. Dan memiliki karakter yang keras. Seolah mengikuti keadaan alam yang ganas dan mengharuskan pola hidup yang keras. Jika mental atau karakternya tidak keras maka akan sulit bertahan hidup di tanah Bangkalan. 

Mata pencaharian yang sulit akan membangun sikap hemat namun cenderung melakukan invasi ke wilayah masyarakat lain yang lebih subur lingkungan alamnya. Hal itu hampir senada dengan keadaan masyarakat di negara Arab, yang memiliki karakter alam yang sedemikian ganas. 

Ganasnya alam membuat segala sesuatu menjadi serba sulit. Karena terbiasa menghadapi kehidupan yang sulit itulah akan menimbulkan karakter masyarakat yang keras, sulit bersikap toleran, dan mudah terjadi konflik horisontal misalnya perebutan property, ata pencaharian, dan wilayah kekuasaan. 

Maka dapat dipahami bahwa konflik horisontal lebih sering terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki karakter alam yang ganas dan keras. Celakanya, kristalisasi nilai kebudayaan yang keras yang berasimilasi ke dalam nilai-nilai agama atau falsafah hidup suatu masyarakat, di kemudian hari akan sangat berbahaya menjadi “doktrin kebenaran” apabila hanya dipahami secara tektual/teksbook. 

Itulah salah satu alasan mengapa mempelajari agama harus disesuaikan dengan konteks zamannya atau dipahami secara kontekstual. Terlebih lagi apabila nilai-nilai tersebut diekspor ke masyarakat lain yang memiliki karakter berbeda. Akan beresiko terjadi disharmoni dan anti-sinergisme dengan lingkungan alamnya. 

Masyakarat lokal (origin/pribumi) akan teralienasi oleh “nilai imitasi impor” yang pada gilirannya justru menghilangkan kesadaran tertinggi jati diri, yakni kesadaran rahsa sejati. Ujung dari semua itu, adalah masyarakat yang terombang ambing kehilangan jati diri, tidak mengenali karakter alam sekitarnya, serba salah langkah, dan salah kaprah dalam mengambil kebijaksanaan. Maka kemurkaan alamlah yang terjadi.

Banyak cara dapat ditempuh untuk mewujudkannya misalnya dengan “laku” spiritual biasa disebut sebagai “laku prihatin” (perih dirasa ing batin). Cara-cara lainnya misalnya dengan berbagai ritual tradisi dan kebudayaan. Dalam mistik Kejawen atau falsafah hidup Jawa semua itu dapat dimaknai sebagai “laku kebatinan” (rohaniah). Tujuan dari semua itu tidak lain sebagai upaya menggapai kesadaran tinggi yakni kesadaran rahsa sejati. Kesadaran rahsa sejati menjadi pemandu yang efektif dalam manembah kepada Tuhan YME.

Pencapaian kesadaran tinggi bukanlah bersifat instan, hanya dengan ritual-ritual misalnya puasa, dan dengan rapalan-rapalan atau wirid saja. Lebih utama dari semua itu adalah amalannya atau laku perbuatan konkrit (manifestasi) dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Manusia Jawa memahami bahwa lakutama atau perilaku utama (baik dan mulia) berupa manifestasi perbuatan terhadap sesama makhluk, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk lainnya (termasuk alam semesta). Lakutama merupakan jalan utama menuju panembahan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Atau dapat dianalogikan bahwa habluminannas (dimensi horizontal) merupakan jalan utama menggapai habluminallah (dimensi vertikal).

Dasar dari laku spiritual adalah amal perbuatan konkrit kepada sesama manusia dan alam semesta atau dimensi habluminannas yakni perbuatan konkrit dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama makhluk (manusia). Amal perbuatan manusia hendaknya dilakukan secara harmonis dan sinergis sesuai dengan kearifan (bahasa) alam. Manusia Jawa memahami bahwa “bahasa” yang terdapat di dalam jagad gumelar ini merupakan “kitab suci” yang penuh dengan petunjuk bahasa / kehendak Tuhan, atau kodrat Tuhan. 

Sinergisme dan harmonisasi antara jagad alit dengan jagad ageng dipahami sebagai sikap tunduk dan taat manusia (manembah) kepada Sang Pencipta Gusti Ingkang Akarya Jagad (Tuhan Pencipta Alam). Dalam upaya memahami lebijaksanaan alam/kebijaksanaan Tuhan yang tergelar di jagad raya ini antara lain lahirlah rangkaian nilai, yang menajdi pandangan atau filsafat hidup seperti misalnya Hasta Brata. Hasil dari mencermati bahasa alam, dan kehendak Tuhan yang terangkum dalam gerak-gerik fenomena alam, meretas ke dalam perangkat nilai yang kemudian diistilahkan sebagai filsafat hidup, nilai-nilai kebudayaan, tradisi, dan ritual yang banyak sekali mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang adiluhung. 

Bila manusia mampu menata perilaku hidupnya seperti halnya perilaku alam yang penuh kebijaksanaan ia akan menemukan rasa sejati dalam pengembaraan sukma. Secara konkrit dapat saya jelaskan bagaimana manusia melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam semesta (jagad gumelar) misalnya ;

1. Alam tempat kita hidup ini, sungguh tak pernah mengeluh, selalu bersedia memberikan kebutuhan manusia untuk melangsungkan kehidupan. Maka konsep manusia mempercayai bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini menuntut konsistensi perbuatan kita hendaknya memiliki sikap welas asih, tepa selira, saling asah asih asuh, terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk hidup tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Manusia hendaknya memahami, menjaga, melindungi dan melestarikan tidak hanya kepada makhluk hidup namun termasuk benda tidak hidup di bumi ini yang meliputi sungai, lautan, gunung, daratan, dan hutan, dst.

Sebaliknya sikap disharmoni dan a-sinergi, tampak pada sebagian manusia yang dengan dalih apapun ingin mencelakai orang lain, membunuh, memfitnah, menyakiti hati. Atau manusia memanfaatkan sumber daya alam secara liar, tidak terkendali, bahkan melakukan eksploitasi alam hingga menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air sungai dan laut, polusi udara. Semua itu merupakan sikap kontradiktori terhadap kodrat / hukum alam, atau kodrat Tuhan. Artinya perilaku manusia demikian menjadi tidak sinergis dan harmonis dengan alam semesta. Akibatnya adalah bencana alam, musibah kemanusiaan, wabah penyakit (endemi), paceklik, salah musim, siklus cuaca yang kacau, global warming.

2. Jika rasio anda mengetahui bahwa jagad raya ini sangat luas meliputi milyaran bintang, dan jumlah galaksi yang banyak, bahkan manusia belum menemukan sampai di mana batas tepi dari jagad raya ini, maka konsep manusia memahami bahwa Tuhan Mahabesar dan Mahaluas Tiada-batas. Dikiaskan sebagai gigiring punglu, atau samodra tanpa tepi. Maka konsekuensi dalam sikap perbuatan hendaknya kita berjiwa besar, toleran, tidak sempit akal, selalu membuka wawasan pikir yang seluas-luasnya. Sikap kita akan lebih arif dan bijak. Tidak suka melakukan prejudis, penilaian sepihak dan vonis subyektif. Tidak pula menghina dan melecehkan yang bodoh. Menghargai pendapat orang lain, serta tidak gengsi berguru kepada siapapun termasuk kepada orang yang dianggap bodoh sekalipun. Bersedia belajar melalui bahasa alam, mau mengambil hikmah dari perilaku positif seekor binatang, yang hina sekalipun. Semua itu berangkat dari kesadaran bahwa Tuhan telah menggelar bahasa dan tanda-tanda kekuasaanNya di setiap jengkal jagad raya ini tanpa kecuali.

Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap hukum alam atau kodrat Tuhan dapat berwujud sikap fanatisme atau anti-toleran, sikap golek menange dewe (cari menangnya sendiri), golek benere dewe (cari benernya sendiri), mbang cinde mbang siladan (pilih kasih), primordialisme agama, rasis, etnosentris. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap kontra-sinergi, atau disharmoni antara microcosmos dengan macrocosmos. Hal ini akan mengurung kesadaran diri (self consciousness) stagnan pada kesadaran imitasi yang membuat diri tidak pernah beranjak belenggu kejahiliahan, yang tanpa pernah kita sadari bersemayam dalam otak, hati, dan batin kita. Orang-orang dalam kesadaran palsu akan cenderung merasa diri sebagai manusia paling suci, alim, soleh, solikhah dan memandang orang lain lebih rendah, kafirun, hina dan sesat.

3. Jika kita percaya bahwa Tuhan Mahapemurah, sebab dalam setiap detik kita dapat menyaksikan bahwa anugrah Tuhan sulit dihitung jumlahnya. Kesadaran konsep demikian hendaklah ditindaklanjuti dengan laku spiritual atau laku batin yang dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit sehari-hari kepada sesama. Sebagai konsekuensinya kita menjadi orang yang murah hati. Tidak enggan melakukan tapa ngrame, gemar membantu dan menolong orang lain secara ikhlas tanpa pamrih. Kecuali hanya sebagai upaya menghayati konsep-konsep ketuhanan, atau netepi titahing Gusti (insan kamil). Giat bekerja dan giat beramal. Harta yang berlebih bukan untuk berfoya-foya dan tidak untuk mengumbar nafsu ragawi. Sebaliknya jika kita lebih banyak harta maka kita akan lebih leluasa dan memiliki kemampuan membantu pihak-pihak yang kekurangan dan membutuhkan. Jika kita banyak ilmu tidak segan dan pelit untuk berbagi kepada sesama yang membutuhkan.

Perilaku disharmoni dan a-sinergi antara microcosmos dengan macrocosmos, bilamana manusia memiliki mental kere atau etos pengemis. Inginnya selalu diberi, dikasihani, dilindungi, pelit merkedit dst. Kurang memiliki kepekaan sosial, egois (keakuan), oportunis (mencari untungnya sendiri/golek butuhe dewe). Jika tidak ada imbalan mereka enggan menolong dan membantu sesama.

4. Anda yakin Tuhan Maha Adil dan Bijaksana ? Sebagaimana tampak dalam hukum alam yang penuh keadilan dan keseimbangan. Dalam ilmu biologi Anda dapat mencermati “rantai makanan” yang jelas-jelas mengikuti rumus keseimbangan alam. Binatang di awal “mata rantai” jumlahnya semakin sedikit dan proses populasinya berjalan lamban, sedangkan hewan yang berada ujung mata rantai berkembang biak secara cepat dalam jumlah besar. Itulah “bahasa alam”, “bahasa” tentang keadilan dan kebijaksanaan, yang menginformasikan kepada manusia bahwa Tuhan Maha Adil. Konsekuensinya, manusia harus selalu berbuat adil dan bijaksana dalam “laku” atau perbuatan hidup sehari-hari kepada sesama manusia, makhluk hidup, dan alam semesta.

Sikap sebaliknya, manusia lebih sering melawan kodrat alam. Manusia menutup mata dan telinga lalu dengan seenaknya berbuat melawanan hukum alam yang tertata, tertib, rapi, adil dan bijaksana. Manusia melakukan penebangan hutan secara liar hingga mengakibatkan pemanasan global, banjit dan terjadi abrasi pantai. Manusia melakukan ekploitasi kehidupan laut secara membabi buta sehingga terjadi ketidakseimbangan mata rantai hingga berakibat kepunahan berbagai jenis binatang. 

Manusia juga merombak sungai menjadi perumahan mewah, jalur hijau dan resapan air “ditanami” bangunan rumah hingga mengakibatkan banjir, tanggul jebol, tanah longsor, semua memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Apakah pola pikir anda masih menganggap bahwa semua itu sebagai “cobaan bagi orang-orang yang beriman” ?. Atau sebagai kehendak Ilahi ? Tidak ! Tuhan tidak sekejam itu, manusialah yang teramat lancang berani menganggap Tuhan sebagai obyek penderita. Lebih tepat dikatakan sebagai “ngunduh wohing pakarti”. Manusia mendapat bebendu atau hukuman atas penentangannya terhadap rumus-rumus alam, hukum alam, atau kodrat Tuhan.

5. Kesadaran kita dalam memahami Tuhan Mahakuasa, adalah sikap penguasaan terhadap hawa nafsu negatif yang ada di dalam diri kita pribadi. Sikap mawas diri, mulat sarira, angon wayah, merupakan penjelmaan atas penghayatan yang sungguh-sungguh terhadap kesadaran bahwa Tuhan Mahakuasa.

Sikap antagonisnya terjadi bilamana manusia selalu bernafsu ingin menguasai dan menindas orang lain secara tidak absah. Menaklukkan, menghancurkan, menundukkan dan menghegemoni pihak lain. Sikap megalomania, narsistis, takabur, golek menange dewe, menganggap orang lain tidak benar dan pantas dilenyapkan, merupakan bentuk negasi dari sikap penguasaan terhadap diri pribadi. Bahkan sikap paling ekstrim dan sangat berbahaya adalah bilamana manusia yang maha lemah mengklaim diri sebagai pembela Tuhan Yang Mahakuasa. Mengaku dirinya adalah UTUSAN TUHAN yang berhak membunuh orang lain yang dianggap secara sepihak menurut persepsi pribadi sebagai musuh Tuhan. Apakah mereka tidak menyadari apabila Tuhan memiliki musuh (yang berasal dari makhluk ciptaanNya sendiri) sangat terdengar aneh bila mengutus manusia berada di jalan jihad dengan membunuh musuh-musuhNya. Apakah Tuhan Mahalemah sehingga mengutus manusia membunuh manusia lainnya ? Bukankah kekuasaan Tuhan mampu membunuh milyaran manusia hanya kurang dari satu detik saja ?! Marilah kita camkan bersama.

Parameter Keihklasan

Berbuat baik dalam hal ini melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi rancu dan bias manakala kita ingin memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam beramal atau berbuat baik. 

Kalimat tersebut memunculkan pertanyaan, “jika keikhlasan diartikan sebagai sikap tanpa pamrih, apakah ideal jika manusia berharap (pamrih) pahala dan syurga ? Bagi saya pribadi, berharap-harap pahala bukanlah tabiat buruk atau salah. Hanya saja, jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku telah berada dalam tataran kesadaran hakekat rasanya menjadi kurang pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. 

Sebab sebagai manusia dengan kesadaran hakekat akan memiliki perasaan “duwe rasa, ora duwe rasa duwe”. Bukankah Tuhan SUDAH tiap detik selalu memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak kelaparan, tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti dst. Bahkan tanpa pandang bulu anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang koruptor, pencuri, penipu, pembohong, pembunuh. 

Bahkan dirasakan oleh seluruh umat manusia di bumi tidak tergantung dengan apa agamanya (primordial), apa suku bangsanya (rasis), dan apa kebudayaannya (etnosentris). Begitu banyak rahmat dan berkah Tuhan kita rasakan tiap satu detik saja. Apakah manusia mampu berucap syukur satu kali dalam setiap detiknya ? Tidak ! Lantas tidak malukah kita jika masih saja berharap-arap pahala atau UPAH dari Tuhan atas apa yang kita lakukan ? Kapan kita akan lebih banyak bersyukur ketimbang memohon-mohon. Kapan kita lebih sering “menelungkupkan telapak tangan” daripada “menengadahkan tangan” ?

Keikhlasan sempurna dapat saya analogikan seperti kita sedang buang air besar. Walau kita melakukan sesuatu yang baik, memberikan materi yang banyak, namun kita tidak berharap imbalan dari seseorang maupun imbalan dari Tuhan, bahkan sesegeranya kita guyur dengan air agar tidak tercium bau dan tidak lagi kelihatan bentuk dan rupanya. Di sinilah hakekat tapa mendem (bertapa mengubur diri). Yang dikubur / hapus adalah segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama dari ingatan kita. Jika kita berbuat baik kepada orang lain, tulislah di atas tanah agar segera terhapus dari ingatan kita. Jika kita membantu sesama, atau menolong orang lain, maka bertransaksilah kepada Tuhan, bukan bertransaksi kepada orang tersebut. Transaksi kepada Tuhan dalam batas kesadaran kita untuk menghayati konsep ketuhanan atau “netepi titahing Gusti”. Bukan untuk mengkoleksi “upah” pahala.

Bersyukur Yang Egois

Dalam upaya mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan, manusia sering melakukannya secara egoistis. Di mulutnya mengucapkan hamdalah atau puji Tuhan saja, atau kalimat-kalimat lainnya. Namun kalimat itu hanya sebatas mulut saja (lips service). Sedangkan hatinya, pikirannya, dan perbuatannya tidak menunjukkan adanya harmonisasi dan sinergisme dengan kalimat syukur yang keluar dari mulut. Kita musti selalu eling dan waspada, karena beginilah bentuk kemunafikan paling halus yang sering tidak disadari oleh manusia.

Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah tasawuf merupakan bentuk zikir tanpa putus, sedangkan dalam tradisi SSJ dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas ucapan mulut atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur dalam diri yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan secara sinkron serta kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut.

Ciptakan Medan Magnet

Rasa syukur serta ketulusan-keikhlasan idealnya didasari oleh kesadaran bahwa setiap detik kita telah berhutang ratusan anugrah dan nikmat Tuhan. Berbuat baik hendaknya didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan rasa syukur tersebut ke dalam perbuatan konkrit. Perbuatan atau amal baik yang kita lakukan seumpama kita sedang membayar hutang. Bagaimana bisa kita membayar hutang namun mengharapkan imbalan ? Nah, walaupun laku perbuatan kita dilandasi sikap tanpa pamrih, alias tulus ikhlas, bukan berarti apa yang kita lakukan hanyalah sia-sia dan tidak ada efek positifnya. Perbuatan baik kita (ibadah) –yang berupa sembahyang dan amal perbuatan baik– ditujukan semata-mata sebagai “laku netepi titahing Gusti”. Artinya, sudah sewajarnya manusia hidup di bumi berbuat baik. 

Oleh karena itu tidak ada yang istimewa di dalamnya. Dan tanpa diminta/dimohon pun asalkan manusia mau berbuat baik dengan tulus, ibarat menciptakan pusaran magnet yang secara otomatis akan menebarkan “medan magnet” (kebaikan) kepada orang lain lalu mengundang “senyawa” (kebaikan) yang sama. Itulah rumus Tuhanatau kodrat alam. Secara otomatis rumus Tuhan akan berjalan dengan sendirinya, bahwa perbuatan baik akan memancarkan sekaligus mengundang segala kebaikan datang menghampiri diri kita. Sebaliknya perbuatan jahat akan mendatangkan keburukan pada diri kita. Kebaikan yang menghampiri berupa kemuliaan hidup (surga) di dunia maupun setelah kita “lahir” ke dalam kehidupan yang sejati dan abadi. 

Sebaliknya keburukan yang menghampiri berupa kehidupan yang hina dan aniaya (neraka). Jika kita mau mencermati “kitab sastra jendra” yang tergelar di jagad gumelar ini, bukankah sudah tampak rumus-rumus dengan jelas. Bahwa tiap-tiap senyawa yang sama memiliki kekuatan untuk saling menyatu. Maka terdapatlah berbagai macam aliran, faham, kepentingan yang bersifat konstruktif maupun destruktif masing-masing menyatu dalam wadah kelompok atau golongan yang sama dan senyawa. Melingkupi yang wadag maupun yang gaib. Maka marilah kita bahu membahu menciptakan “medan magnet” yang mulia.

Pantaskah Kita Memohon ?

Di antara berbagai doa dan permohonan kepada Tuhan Yang mahakuasa, bila kita memohon agar memiliki kesadaran, kemampuan, kekuatan dan kemudahan dalam melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan jagad raya seisinya, atau beramal kebaikan kepada seluruh makhluk sebagai upaya menghayati konsep ketuhanan atau “netepi titahing Gusti”, itulah permohonan yang menduduki ranking pertama paling pantas dan ideal dilakukan manusia kepada sang Pencipta. Permohonan-permohonan yang lain, menduduki ranking berikutnya.

Titik Temu Rasio dan Spirit

Untuk itu tugas manusia adalah mampu “nggayuh kawijcaksananing Gusti”. Mampu memahami apayang menjadikehendak alam atau kehendak Tuhan. Dengan berbagai cara yang ditempuh misalnya olah rasa atau olah batin, yakni mengolah kepekaan indera anda yang keenam. Lalu membuka wawasan pikir seluas-luasnya dengan mempelajari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan akan menjadi tiang penyangga agama. Sebaliknya kesadaran spiritual akan menuntun ilmu pengetahuan bekerja sinergis dan harmonis dalam koridor hukum alam. Target utamanya adalah terbukanya kesadaran rahsa sejati yang menyempurnakan kesadaran rasio / akal-budi.

Bookmark and Share

0 comments:

Posting Komentar