Perpecahan dalam satu kerajaan sering terjadi karena adanya persaingan antar kerabat dalam memperebutkan sebuah takhta. Di balik konflik tersebut selalu ada ego dalam diri seorang calon pemimpin yang merasa benar dan merasa mampu menjalankan pemerintahan dan menganggap calon pemimpin lainnya kurang tepat sebagai pewaris takhta. Konflik juga terjadi kala seorang tokoh mempunyai dendam kepada seorang raja, karena sang raja telah berbuat hal yang tidak pantas terhadap diri dan keluarganya. Musyawarah jarang dilakukan karena sang penguasa merasa dirinya benar dan tidak pantas seorang bawahan menyalahkan atasannya. Dalam sebuah kerajaan yang nampaknya tenang, sering muncul konflik kala terjadi pergantian takhta. Mengapa hal demikian sering terjadi? Bahkan dalam zaman setelah kemerdekaan? Sampai saat ini? Walau setting panggungnya tentu saja berbeda.
Tertulis bahwa Raden Patah, Raja Demak digantikan oleh Trenggono, salah satu putranya. Setelah Trenggono meninggal, terjadilah kemelut di Demak dan Kerajaan pindah ke Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) menantu Sultan Trenggono. Kemudian terjadi perang saudara antara Sultan Hadiwijaya melawan Arya Penangsang yang merasa lebih berhak menduduki tahta Demak, karena dia merupakan cucu langsung dari Raden Patah.
Ki Gede Pemanahan beserta putranya Sutawijaya membantu Sultan Hadiwijaya mengatasi perang saudara di Demak dan karena kesuksesannya, kemudian diberi hadiah tanah di daerah Mataram, Jogjakarta. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo, putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan Trenggono. Pangeran Benowo kemudian meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram.
Sutawijaya adalah Raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati (1586 - 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Panembahan Senopati digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati (1601 - 1613). Ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, sang raja meninggal dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung (1613 - 1645). Sultan Agung merupakan raja terbesar dari kerajaan Mataram.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Sultan Agung berusaha mengusir VOC Belanda dan melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Setelah wafatnya Sultan Agung, pengganti selanjutnya adalah putranya, Amangkurat I dan kemudian cucunya Amangkurat II, dan selanjutnya anak-keturunan Sultan Agung yaitu Amangkurat III, Paku Buwono I, Amangkurat IV, Paku Buwono II, Paku Buwono II. Sepeninggal Sultan Agung terjadi beberapa pemberontakan antara lain Trunojoyo 1674-1679, Untung Suropati 1683-1706, pemberontakan Cina 1740-1748.
Tercatat VOC berhasil menaklukan Mataram melalui politik “devide et impera”, kerajaan Mataram dibagi dua melalui perjanjian Gianti pada tahun 1755. Sehingga Mataram yang luasnya hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I dan Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III. Selanjutnya, VOC Belanda kembali melalukan politik adu-domba sehingga di tahun 1757 terjadi perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegara, dan sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
Sah-sah saja bila kita beralasan VOC Belanda melakukan politik “devide et impera”. Kita selalu bisa mencari kambing hitam pihak lain yang memang berupaya sekuat tenaga untuk memecah-belah kita, akan tetapi tanpa kesediaan diri kita memenuhi upaya pemecah-belahan tersebut, pemecahbelahan tidak akan terjadi. Bila putra-putri bangsa kita tidak mau dipecah-belah, maka kita tidak bisa terpecah belah. Sebelum VOC Belanda datang di Nusantara, perpecahan kerajaan pun sering terjadi.
Filosuf George Santayana menyampaikan, “Mereka yang tidak dapat belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya.” Dan nampaknya bangsa kita sering melupakan pelajaran sejarah, sehingga harus mengulangi pelajaran tersebut beberapa kali. Pada tahun 1977 Mochtar Lubis menyampaikan ciri-ciri manusia Indonesia. Penyakit terbanyak orang Indonesia adalah sifat ngambekan, dendam, mudah sakit hati. Nampaknya sampai kini ciri-ciri tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti. Dan bila kita tengok sejarah masa lalu, nampaknya sifat demikian sudah ada pada diri para leluhur kita.
Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh geografis Indonesia yang kurang menunjang. Iklim tropis membuat lembab, terlalu banyak kandungan air dalam tubuh, sehingga orang-orangnya mudah bergejolak. Akan tetapi bila bangsa Indonesia sadar dan mulai mengubah karakternya, maka karakter tersebut bisa diperbaiki juga. Tidak benar juga bila dikatakan bahwa konflik terjadi karena perbedaan agama. Sejak zaman Kerajaan Demak berdiri, mayoritas masyarakat Kerajaan Mataram pun mempunyai agama yang sama, akan tetapi konflik tetap terjadi juga. Bahwa perbedaan agama bisa menjadi pemicu itu memang harus diwaspadai.
Bapak Anand Krishna dalam materi program online Ancient Indonesian History and Culture menyampaikan adanya “Trauma Ajisaka”. Bahasa Jawa dibuat berdasarkan konflik antara Dora dan Sembada yang berakhir tragis. Kedua abdi Ajisaka tersebut masing-masing merasa benar dan merasa taat kepada Ajisaka yang satu, akan tetapi dengan persepsi yang berbeda. Dora merasa disuruh Ajisaka untuk memanggil Sembada dan membawa pusaka yang dijaga Sembada kepada Ajisaka.
Sedangkan Sembada merasa bahwa Ajisaka telah meminta dia untuk menjaga pusakanya sampai diambil kembali oleh Ajisaka. Dalam diri Dora dan Sembada sejak dahulu memang sudah ada perbedaan persepsi. Dora ingin dekat dengan Ajisaka secara fisik, sedangkan Sembada ingin memegang kata-kata dari Ajisaka.
Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah program Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) yang bertujuan agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Selanjutnya ada program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based.
Kemudian program lainnya adalah Neo Interfaith Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Ketiga program tersebut sebenarnya saling kait-mengkait.
Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga. Ada utusan yang berbeda pendapat, masing-masing berkelahi mempertahankan pendapatnya dan kedua-duanya menemui kematian.
Terpisahnya pemikiran bukan permasalahan yang besar, akan tetapi hati yang terpisah-pisahlah yang menyebabkan perpecahan yang berujung pertengkaran. Dora dan Sembada hidup bersama, kebersamaan fisik tanpa hati. Pemikiran mereka tidak saling mengisi. Kebersamaan semacam ini tidak ada apa-apa nya, tanpa makna. Mereka mati sia-sia. Saat napas terakhir pun mereka masih membawa-bawa kemarahan. Pada akhirnya mereka tidak mati membela ajaran, tetapi sebenarnya karena membela ego mereka sendiri.
Pada dasarnya masyarakat Nusa Jawa sulit menentang pemimpinnya, sehingga bila terjadi perselisihan, masyarakat akan mengikuti pemimpinnya masing-masing. Dalam materi program online Ancient Indonesian History and Culture, Bapak Anand Krishna menyampaikan.
Karena Aji Saka seorang sakti, trauma-trauma ini terekam dalam kolam bawah sadar kolektif penduduk Nusa Jawa. Secara kejiwaan mereka: menghindari pertukaran pendapat; memendam kemarahan; mengingatkan orang yang dituakan dianggap membantah dan tidak sopan; takut terjadi salah paham; dan takut berbuat kesalahan di luar petunjuk. Kelima hal ini menjadi semacam etika tidak tertulis bagi para pengguna bahasa “HaNaCaRaKa”.
Tidak ada yang salah jika kelima nilai di atas ditempatkan pada porsinya yang pas. Memang sebaiknya kita menghindari debat kusir, kemarahan, asal kritik, kesalahpahaman, dan melakukan sesuatu asal sesuai yang tertulis tanpa mengerti esensi latar belakang penulisan.
Tetapi trauma berkepanjangan ini telah menjadikan penerapan nilai-nilai ini menjadi semakin berlebih-lebihan dari generasi ke generasi. Menjadi semakin kaku dari generasi ke generasi sehingga mematikan inisiatif, diskusi dan kebebasan berpikir. Dan lagi-lagi hal ini merupakan makanan empuk para atasan yang korup/penguasa yang rakus yang menyalahgunakan kepatuhan dan kepasifan rakyatnya/bawahannya untuk dieksploitasi demi mempertahankan kekuasaannya.
Dalam materi program online Ancient Indonesian History and Culture, Bapak Anand Krishna juga menyampaikan hikmah pelajaran untuk tidak mengulangi tragedi Dora dan Sembada.
Ada beberapa hal yang perlu dipelajari sehingga peristiwa tragedi serupa dapat dihindari. Pertama dan yang terpenting adalah Jadilah Manusia Seutuhnya, dan Tumbuhkembangkan Nilai-nilai Bijak. Kedua-duanya Dora dan Sembada belumlah menjadi manusia seutuhnya. Dora terpaku pada hal-hal fisik, dan Sembada tertumpu hanya pada pikiran. Pelajaran kedua adalah Pahamilah yang Tersirat dari yang Tersurat.
Dua-duanya hanya mengartikan pesan guru mereka secara tekstual saja dan mengabaikan konteksnya. Pelajaran ketiga, Jangan Mudah Tersinggung, dan Hindarilah Rasa Terhina. Sembada merasa tersinggung dengan ketinggihatian Dora, dan Dora merasa dihina dengan penolakan Sembada. Jangan Biarkan Perang Kata-kata Memuncak Menjadi Pertarungan - inilah pelajaran keempat. Dan, pelajaran kelima adalah Untuk Tidak Menyalahartikan Kematian yang Sia-sia sebagai Pengorbanan.
Manusia lahir membawa sifat genetik dari leluhur orang tuanya. Kemudian dia dididik oleh orang tua, pendidikan, lingkungan dan pengalaman pribadinya. Kebenaran bagi seseorang adalah kebenaran yang diterimanya secara repetitif-intensif sejak kecil. Beda orang tua, beda pendidikan, beda lingkungan dan beda pengalaman menghasilkan pemahaman kebenaran yang berbeda. Kala seorang tokoh merasa pemahamannya paling benar dan ingin orang lain menerima pemahamannya maka timbullah konflik. Inilah yang pertama kali harus disadari lebih dahulu.
Selanjutnya seyogyanya para tokoh ingat kaidah emas, “Jangan melakukan sesuatu yang kita tidak senang bila orang lain melakukannya terhadap kita”. Oleh karena itu maka jalan terbaik adalah musyawarah dengan hati yang jernih.
Etika kepatuhan membabi-buta terhadap atasan, senior, yang dituakan telah memakan korbannya. Generasi muda Majapahit yang apatis dan kehilangan daya analisanya, termakan indoktrinasi Trenggana dan mengakibatkan permasalahan berkepanjangan. Nusantara sedang mengalami masa-masa kegelapan intelektualitas menyusul menyurutnya intelegensia akibat aksara Aji Saka, ketika Pakubuwana IX (1830-1893) muncul memperbaharui persepsi Aksara Jawa.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang melepaskan diri dari Trauma Dora dan Sembada silakan ikuti program online “Ancient Indonesian History and Culture”
0 comments:
Posting Komentar