SINGHAWIKRAMAWARDHANA

(Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripatipasutabhupatiketubhuta)
Bhre Tumapel/Bhre Pandan Salas Dyah Suraprabhawa memerintah tahun 1388-1396 Saka (1466-1474 AD). Gelar resmi (abhisekanama) Paduka Sri Maharajadhiraja Prajakainatha Srimacchri Bhattara Prabhu Garbhottprasutinama Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhananamarajabhiseka. Suraprabhawa menggantikan Sang Sinagara. Prasasti Pamintihan (1395 Saka/1473 AD) menyebutkan gelar nobatnya, Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripatipasutabhupatiketubhuta.

Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Prasasti Waringinpitu (1369 Saka/1447 AD) menerangkan bahwa Dyah Suraprabhawa (putra bungsu Dyah Krtawijaya) menikahi Rajasawardhana-dewi Dyah Sripura (Bhre Singhapura). Pararaton mencatat istri (Bhre Pandan Salas) Bhre Singapura putri Bhre Paguhan (cucu Bhre Tumapel Sri Krtawijaya: memerintah tahun 1369-1373 Saka/1447-1451 AD). 

Bagian penutup Pararaton menuturkan: “… Bhre Pandan Salas menjadi Bhre Tumapel pada tahun 1388 Saka (1466 M). Menjadi raja dua tahun lamanya, lalu meninggalkan istana. Putra-putra Sang Sinagara: Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan si bungsu Bhre Kertabhumi. Menurut aluran, Bhre Prabhu yang mangkat di istana tahun 1400 adalah paman mereka…”.

Menurut analisa Slametmuljana tahta di sini bukan berarti tahta Majapahit melainkan tahta Tumapel, karena yang menjadi Raja Majapahit sepeninggal Hyang Purwawisesa adalah Dyah Suraprabhawa (1388-1408 Saka/1466-1486 AD). Sepeninggal Hyang Purwawisesa (1368 Saka/1466 AD) yang memegang tampuk pemerintahan Majapahit adalah Bhre Prabhu Sang Mokta ring Kadaton i saka sunya-nora-yuganing-wong  (Bhre Prabhu yang moksa di istana tahun Saka 1400).

Sarjana A.Teeuw (Slametmuljana cf.,1986: 248) menganggap tokoh ini adalah Bhre Pandan Salas yang dalam Pararaton naik tahta tahun 1368 Saka/1466 AD. Dalam kaitan ini N.J.Krom ber-pendapat bahwa Pandan Salas berhubungan dengan akhir masa Majapahit yang ditandai munculnya dinasti baru dengan menyebut dirinya Girindrawardhana. Raja terakhir dinasti Majapahit akhir ini memakai gelar Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. 

Namun J.Noorduyn menyangkal tentang adanya Dinasti Girindrawardhana, menurutnya  Girindra adalah sebutan Dewa Siwa yang dipuja raja-raja Singhasari-Majapahit. Maka penyebutan Dyah Suraprabahwa sebagai keturunan Girindrawangsa di dalam Lubdhaka lebih merupakan pemujaan terhadap sang raja sebagai titisan Dewa Siwa, bukan atas dasar silsilah.

Di dalam Prasasti Trailokyapuri (dikeluarkan oleh Dyah Ranawijaya)  Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana mangkat tahun 1396 Saka/1474 AD. Masa pemerintahannya berlangsung singkat Tokoh dibandingkan dengan tokoh-tokoh Majapahit lainnya, namun perlu dicatat bahwa dia- lah sebenarnyalah yang meneratas tapak jejak kembalinya Dinasti (Janggala-Kadiri). 

Mempertautkan Dinasti Singhasari kepada tatanan pemerintahan politik Negara Majapahit. Sejak pemerintahannya hingga runtuhnya Majapahit, gelar raja-rajanya mencantumkan ‘Girindrawardhana’. Oleh karena itu, meski mungkin tidak terlalu ‘populer’ akan tetapi kebesaran Sri Adi Suraprabhawa diabadikan dalam oleh Rakawi Mpu Tan Akung di dalam gubahan pujasastranya, Kakawin Lubdhaka atau Siwaratrikalpa  Ia diseru dengan hormat sebagai tokoh Giripatipasutabhupatiketubhuta karena sesungguhnyalah di dalam dirinya mengalir darah murni ‘pribumi’  keturunan raja-raja gunung (Girindrawangsaja) yang telah berhasil mempersatukan keluarga Janggala-Kadiri-Majapahit.

Girindrawardhana yang menjadi raja Majapahit tahun 1486 mengaku sebagai putra Singawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu Raja Gunung.
Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabhumi putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meski tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabhumi melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.

Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabhumi adalah raja yang menggantikan Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.
Namun teori bahwa Dyah Suraprabhawa digantikan oleh Bhre Kertabhumi ditentang Muljana (1986: 248). 

Merujuk kepada Pararaton, Muljana berpendapat bahwa sepeninggal Hyang Purwawisesa tahun 1466, yang menjadi raja di Majapahit adalah Bhre Prabhu Sang Mokta ring Kadaton i saka sunya-nora-yuganing-wong (1400). Pararaton tak menyebut gelar abhiseka maupun nama garbhopati raja tersebut, hanya menyebutkan tempat dan tahun kematiannya, yakni di istana dan tahun 1400 Saka (1476 M). Dari Prasasti Pemantihan-lah terbukti bahwa yang dimaksud dengan Sang Mokta ring Kedaton i saka sunya-nora-yuganing-wong ialah Dyah Suraprabhawa. Pararaton pun tak memberitakan dengan tegas siapa Majapahit setelah Dyah Suraprabhawa mangkat.

Krom menyatakan, pada akhir masa Majapahit timbul dinasti baru, Girindrawardhana, dan raja terakhir Majapahit Dyah Ranawijaya Girindrawardhana berasal dari dinasti ini. Namun Noorduyn menyangkal adanya Dinasti Girindrawardhana. Bagaimana pun, Girindra adalah sebutan untuk Dewa Siwa. Dewa Siwa ini dipuja pada masa Singasari-Majapahit. Ada pun penyebutan Dyah Suraprabahwa sebagai keturunan Girindrawangsa dalam Lubdhaka lebih merupakan pemujaan terhadap dirinya sebagai titisan Dewa Siwa, bukan atas dasar silsilah.

Bookmark and Share

0 comments:

Posting Komentar